KRITIK SASTRA MIMESIS DALAM NOVEL “TEMUI AKU DI SURGA” KARYA ELLA SOFA

KRITIK SASTRA MIMESIS DALAM NOVEL “TEMUI AKU DI SURGA” KARYA ELLA SOFA

Sutrisno Gustiraja Alfarizi
Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
FKIP Universitas Jember

Abstrak: Pendekatan mimetis berupaya memahami hubungan karya sastra dengan realitas atau kenyataan. Plato dan Aristoteles merupakan tokoh pencetus pendekatan yang menitikberatkan kajiannya terhadap hubungan karya sastra dengan kenyataan di luar karya. Hal ini bisa dilihat dari realitas sosial, budaya, dan potik. Pembahasan ini mendeskripsikan struktur instrinsik sebagai langkah awal membangun teori kritik sastra mimesis pada novel Temui Aku di Surga, sekaligus menjadikan referensi dalam penggambilan data.
Kata kunci: Temui Aku di Surga, mimesis, realitas, struktur instrinsik.
Pendahuluan
Karya sastra merupakan kesusastraan, karya tulis, yang jika dibandingkan dengan tulisan lain memiliki berbagai ciri keunggulan, seperti keaslian, keartistikan, keindahan dalam isi dan ungkapannya, drama, epik, dan lirik. Karya sastra tidak hadir begitu saja. Terdapat serangkaian proses dalam penulisan kreatifnya. Di mana ada pergulatan jiwa yang dialami sastra sebagai seorang yang memiliki daya imajinatif. Walaupun, begitu tidak selamanya sastra bersifat imajinatif, mengingat karya sastra mengandung nilai-nilai tertentu yang ada di masyakarat.
Karya sastra yang baik akan menjadi cermin masyarakat yang terdapat dalam karya tersebut. Sehingga dengan menikmati karya yang demikian akan tumbuh sebuah pikiran bahwa masyarakat yang ada digambarkan dalam karya tersebut tidak jauh berbeda.
Novel sebagai salah satu ragam karya sastra menyuguhkan kisah-kisah menarik, bahkan di dalam perkembangannya terdapat beberapa novel yang merupakan tiruan (mimesis) dari kisah nyata. Hal tersebutlah yang mendorong pemilihan novel “Temui Aku” di Surga karya Ella Sofa dalam tinjauan kritik sastra mimesis.
Novel ini mengisahkan tentang persahabatan Yudho dan Malik. Di mana jalinan persahabatan mereka begitu kuat seperti saudara. Sayangnya, maut memisahkan keduanya. Malik meninggal dunia akibat suatu masalah di masa lalu. Yudho sebagai teman dekat Malik, digambarkan menjadi simbol pencapaian cita-cita Malik yakni menjadi petinggi di Desa Randuasri. Namun, dalam proses pencalonannya Yudho mengalami banyak hambatan seperti ia tidak memiliki modal yang cukup banyak dan ancaman dari pihak lawan atau Pak Thamrin, bahkan lawan politik Yudho menggunakan cara kotor agar bisa menang seperti pergi ke dukun, melakukan ancaman kepada para calon pemilih, sampai memalsukan suara. Alhasil, Yudho mengalami kekalahan. Di tengah-tengah proses konflik hebat itulah. Muncul pengakuan mengejutkan dari Solikin bahwasanya pihak Pak Thamrin telah melakukan pelanggaran pemilihan petinggi dan juga misteri kematian Malik.
Pemilihan novel “Temui Aku di Surga” karya Ella Sofa ini didasarkan pertimbangan-pertimbangan berikut. Pertama, keunikan tema dalam novel ini yang mengisahkan tentang sistem politik tingkat bawah di Indonesia yakni politik di desa. Kedua, novel “Temui Aku di Surga” ini mengungkapkan fenomena-fenomena yang terdapat dalam masyarakat Indonesia seperti percaya akan kekuatan dukun atau mistis. Selain itu terdapat beberapa kejadian dalam novel ini yang mencerminkan tiruan kehidupan nyata (mimesis).
Berdasar hal tersebutlah, kritik sastra terhadap novel ini dibutuhkan dengan pendekatan struktur instrinsik dan penyikapan sebagai tiruan (mimesis).
Penulisan artikel ini bertujuan memberikan (1) wawasan mengenai struktur instrinsik novel “Temui Aku di Surga” karya Ella Sofa dan (2)  gambaran tentang aspek tiruan (mimesis) dalam novel “Temui Aku di Surga” karya Ella Sofa.
Hakikat Fiksi
Nurgiantoro (2000:3) mengemukakan bahwa fiksi menceritakan berbagai masalah kehidupan manusia dalam interaksinya dengan lingkungan dan sesama interaksinya dengan diri sendiri, serta interaksinya dengan Tuhan. Fiksi merupakan hasil dialog, kontemplasi, dan reaksi pengarang terhadap lingkungan dan kehidupan. Walau berupa khayalan, tidak benar jika fiksi dianggap sebagai hasil kerja lamunan belaka, melainkan penghayatan dan perenungan secara intens, perenungan terhadap hakikat hidup dan kehidupan, perenungan yang dilakukan dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab.
            Dunia kesastraan ternyata memiliki bentuk karya sastra yang mendasarkan diri pada fakta. Menurut Abrams (dalam Nurgiantoro, 2000:5) karya tersebut bisa dikategorikan sebagai fiksi historis (historical fiction), jika yang menjadi dasar penulisan fakta sejarah, fiksi biografi (biographical fiction), jika yang menjadi dasar penulisan fakta biografis, fiksi sains (science fiction), jika yang menjadi dasar penulisan fakta ilmu pengetahuan. Ketiga jenis karya fiksi tersebut dikenal dengan sebutan fiksi nonfiksi (nonfiction fiction).
            Walaupun begitu, kebenaran yang terjadi dalam dunia fiksi berbeda dengan kebenaran di dunia nyata. Kebenaran dalam dunia fiksi adalah kebenaran yang sesuai dengan keyakinan pengarang, kebenaran yang telah diyakini “keabsahannya” sesuai dengan pandangannya terhadap masalah hidup dan kehidupan.
Struktur Instrinsik
Struktur intrinsik adalah unsur-unsur yang membentuk karya sastra seperti penokohan atau perwatakan, tema, alur (plot), pusat pengisahan (sudut pandang), latar, dan gaya bahasa. Unsur intrinsik yang dibahas dalam artikel ini adalah latar, tokoh dan penokohan, serta plot dan pemplotan. Hal tersebut dikarenakan  ketiga unsur tersebut adalah yang paling kuat dan berpengaruh dalam keseluruhan isi novel “Temui Aku di Surga”.
1.       Latar
Latar atau setting merupakan landas tumpu, menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sisuak tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan (Abrams dalam Nurgiantoro, 2000: 216).
Nurgiantoro (2000:227) mengemukakan jika terdapat tiga unsur latar, yaitu tempat, waktu, dan sosial.



2.      Tokoh dan Penokohan
Tokoh memiliki peranan yang penting dalam mengungkapkan keseluruhan ide cerita dan peristiwa. Tokoh adalah pengemban peristiwa dalam cerita fiksi sehingga peristiwa itu mampu menjalin suatu cerita. Menurut Nurgiantoro (2000:165) istilah tokoh merujuk pada orangnya, pelaku cerita. Sedangkan, penokohan menunjuk pada watak-watak tokoh dalam suatu cerita atau bisa juga disebut sebagai pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita.
Nurgiyantoro (2000: 176—194) membedakan tokoh berdasarkan tokoh utama dan tokoh tambahan, tokoh protagonis dan tokoh antagonis, tokoh sederhana dan tokoh bulat, tokoh statis dan tokoh berkembang, serta tokoh tipikal dan tokoh netral. Penamaan yang dilakukan oleh Nurgiyantoro cenderung bersifat sejajar.
3.       Plot dan Pemplotan
Nurgiyantoro (2000: 94) mengatakan bahwa objek dari sebuah cerita rekaan adalah peristiwa. Nurgiyantoro juga menjelaskan bahwa ada perbedaan yang jelas terlihat antara cerita dan plot. Cerita sekadar mempertanyakan apa atau bagaimana kelanjutan peristiwa, sedangkan plot lebih menekankan permasalahan pada hubungan kausalitas, kelogisan hubungan antarperistiwa yang dikisahkan dalam karya naratif yang bersangkutan. Dari kedua pengertian di atas, ada pergantian penyebutan antara alur dengan plot. Namun, Nurgiyantoro (1995:111) menyebutkan bahwa alur dengan plot pada dasarnya memiliki makna yang sama sehingga dalam pembahasan ini tidak membedakan pengertian antara alur dan plot.
Secara umum cerita rekaan terdiri atas peristiwa yang terjadi di bagian awal, tengah, dan akhir. Nurgiyantoro (2000: 153—163) didasarkan pada tinjauan dari kriteria urutan waktu, jumlah, dan kepadatan. Pada kriteria urutan waktu, terdapat dua kategori, yaitu kronologis dan tidak kronologis. Berdasarkan kriteria jumlahnya, plot terdiri atas plot tunggal dan plot bawahan. Berdasarkan penahapannya, plot terdiri atas tahapan plot: awal-tengah-akhir dan tahapan plot rincian lain.
Kritik Sastra
Hardjana (1981:1) menjelaskan bahwa kegiatan kritik sastra pertama kali di dunia dilancarkan oleh seorang Yunani bernama Xenophones dan Heraclitus sekitar tahun 500 sebelum Masehi.
Istilah kritik  sendiri berasal dari kata krites, yang oleh orang-orang Yunani kuno dipergunakan untuk menyebut hakim. Krites berasal dari kata kerja krinein yang berarti menghakimi, juga merupakan pangkal dari kata benda kriterion yang berarti dasar penghakiman.
Berdasar hal tersebut dapat diketahui bahwa kritik sastra merupakan sumbangan yang dapat diberikan oleh para peneliti sastra bagi perkembangan dan pembinaan sastra. Hal ini berkaitan dengan hasil usaha pembaca dalam mencari dan menentukan nilai hakiki karya sastra lewat pemahaman dan penafsiran sistematik yang dinyatakan dalam bentuk tertulis.
Tokoh Pencetus Kritik Sastra Mimesis
Teeuw (1988: 219) mengemukakan bahwa pengertian mimesis pertama kali dinyatakan oleh filsuf Yunani, yaitu Plato dan juga muridnya Aristoteles yang sekaligus menjadi lawannya dalam pemikiran ini pada 2.000 tahun silam. Plato secara panjang lebar telah menguraikan keterkaitan antara puisi dan alam semesta, terutama dalam hubungannya dengan kenyataan.        Terdapat, beberapa tataran tentang Ada (different planes of being). Tiap-tiap tataran itu mencoba melahirkan nilai-nilai yang mengatasi tatarannya. Bagi Plato, mimesis terikat pada ide pendekatan, tidak menghasilkan peniruan yang sesungguhnya, tetapi hanya menghasilkan pencerminan atau peniruannya sehingga lewat mimesis tataran yang lebih tinggi hanya dapat disarankan. Seni hanya dapat meniru dan membayangkan hal-hal yang ada dalam kenyataan yang tampak.
 Menurut Plato (dalam Teeuw, 1988:220)   seni memiliki dua segi, yaitu dalam wujud nyata seni adalah benda yang sangat rendah nilainya, namun dalam wujud lainnya seni adalah hal yang memiliki hubungan secara tidak langsung dengan sifat hakiki benda-benda. Seni yang terbaik lewat mimesis adalah peneladanan kenyataan mengungkapkan makna hakiki kenyataan itu. Dengan demikian, seni yang baik harus benar, dan seniman harus bersifat rendah hati dan harus tahu bahwa dia mendekati yang ideal dari jauh dan serba salah.
Hal inilah yang menempatkan kepandaian tukang (pengrajin) lebih tinggi daripada seniman, sebab tukang  (pengrajin) lebih efisien dalam menirukan ide-ide yang mutlak dari benda-benda yang dihasilkannya. Seniman dianggapnya tidak terlalu menggunakan rasio dan nalar manusia, melainkan lebih mengedepankan nafsu-nafsu dan emosinya sehingga seni dapat menimbulkan nafsu. Manusia yang memiliki rasio justru harus merendahkan nafsunya.
Berdasar pendapat Plato dapat disimpulkan bahwa seni yang baik adalah seni yang menyerupai bentuk asli dari benda yang ditirunya.
Pendapat Plato mengenai seni dan mimesis ditentang oleh Aristoteles. Menurut Aristoteles (dalam Teeuw, 1988:222) seniman tidak meniru kenyataan dan mementaskan manusia sebagaimana adanya. Seniman justru menciptakan dunianya sendiri dari segala kemungkinan yang diberikan oleh dunia nyata sehingga dapat mencerahkan segi-segi dunia nyata tertentu. Berdasarkan pendapat tersebut, Aristoteles menempatkan seniman pada posisi yang lebih tinggi daripada tukang (pengrajin) sebab dalam karya seorang seniman pandangan, vision, dan penafsirannya terhadap kenyataanlah yang lebih dominan. Selain itu, seorang seniman juga memiliki kepandaian untuk menginterpretasikan dan memberikan makna kepada eksistensi manusia. Karya seni dianggapnya sebagai sarana pengetahuan yang khas dalam memahami tahapan situasi manusia yang tidak dapat dijabarkan dengan jalan lain.
Berdasar dua pendapat pencetus teori kritik sastra mimesis dapat disimpulkan bahwa kaitan antara kenyataan dan rekaan dalam karya sastra dianggap penting. Hal ini dikarenakan keduanya tidak dapat dipisahkan dan saling membutuhkan satu dengan yang lainnya. Hal tersebut dapat disimpulkan jika suatu karya sastra (rekaan) pastilah berasal dari sebuah kenyataan di lapangan.
Kritik sastra mimesis diperkenalkan oleh Plato dan Aristoteles. Menurut mereka, pada hakikatnya segala seni merupakan tiruan dari semesta. Verdenius (dalam oleh Teeuw, 1988:220) menyatakan bahwa yang nyata secara mutlak hanya yang baik dan derajat kenyataan semesta bergantung pada derajat kedekatannya terhadap Ada yang abadi. Dunia empiris tidak dapat mewakili kenyataan yang sungguh-sungguh. Kenyataan yang ada hanya bisa didekati oleh peniruan-peniruan (mimesis).
Struktur Instrinsik Novel “Temui Aku di Surga”
Latar
Menurut Nurgiantoro latar memberikan pijakan cerita secara konkret dan jelas. Hal ini penting untuk memberikan kesan realistis kepada pembaca, menciptakan suasana tertentu yang seolah-olah sungguh ada dan terjadi.
            Unsur latar dapat dibedakan ke dalam tiga unsur pokok, yaitu tempat, waktu, dan sosial.
1.       Latar Tempat
Latar tempat menyaran pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Unsur tempat yang dipergunakan mungkin berupa tempat-tempat dengan nama tertentu, insial tertentu, mungkin lokasi tertentu tanpa nama jelas.
Penggunaan latar tempat dalam novel “Temui Aku di Surga” menggunakan unsur tempat berupa tempat-tempat dengan nama tertentu. Adapun latar tempatnya di gambarkan pada kutipan berikut:
1.      Jepara
Malik menghentikan sepeda motor tepat di depan markas geng Topanx. Geng yang telah diikutinya sekitar dua tahun lalu itu adalah perkumpulan anak muda yang cukup punya nama di Jepara. (Temui Aku di Surga: 1)
Dua Minggu sejak masuk di RS. RA. Kartini, Malik sudah kembali di rumah. (Temui Aku di Surga:7)
...Nama desa itu Randuasri. Terletak di wilayah Kecamatan Kalinyamatan, Kabupaten Jepara. (Temui Aku di Surga: 11)
Ia mencari sumber suara di antara banyaknya manusia yang lalu-lalang di halaman depan kampus STIENU Jepara. (Temui Aku di Surga: 269)
Pada empat kutipan di atas menunjukkan jika latar tempat novel “Temui Aku di Surga” adalah Jepara. Hal ini dikarenakan, Jepara merupakan latar yang paling dominan dalam novel. Seperti kutipan pertama yang menjelaskan Geng Topanx yang cukup memiliki nama di Jepara. Kutipan kedua dan keempat menunjukkan suatu lokasi atau tempat yang terdapat di Jepara yakni RS. RA Kartini dan kampus STIENU. Sementara, kutipan ketiga  yang menjelaskan situasi desa yang masih asri bernama Randuasri, Kecamatan Kalinyamatan, Kabupaten Jepara.
2.      Pesantren Tremas atau Attarmasy di Pacitan
Hampir tiga tahun ini Malik tinggal dan menjalani kehidupan yang tenang di Pesantren Tremas atau Attarmasy di daerah Pacitan. (Temui Aku di Surga: 29)
Pondok Pesantren Tremas atau Attarmasy di daerah Pacitan menjadi latar tempat di beberapa bab awal novel “Temui Aku di Surga” seperti yang terdapat pada kedua data kutipan di atas. Di mana, data pertama menunjukkan waktu hampir tiga tahun Malik dan menjalani kehidupan di pondok pesantren tersebut.
3.      Surabaya
“Whoooi! Iya, maaf aku belum ngasih kabar. Maaf Bos, ndak masuk beberapa hari deh kayaknya. Aku ke Surabaya....!” Malik segera memberi kabar. (Temui Aku di Surga: 118)
Pada kutipan di atas menjelaskan tentang keberadaan Malik yang sedang menuju Surabaya. Latar Surabaya kemudian dipertegas pada kutipan berikut:
Empat hari tinggal di Griya Kebonagung, rumah kakaknya, dirasa cukup bagi Malik untuk membasuh kekalutan dalam pikran dan hatinya. (Temui Aku di Surga: 123)
4.      Kudus
“Sementara itu di pondok pesantren Arwaniyah, Kudus. Hesti telah aktif menghafal kembali. Ia telah melewati masa-masa terberat!”
(Temui Aku di Surga: 201)
Kutipan di atas menjelaskan keberadan Hesti di pondoknya yang bernama pondok pesantren Arwaniyah di daerah Kudus, dalam novel ini Hesti digambarkan sebagai seorang hafidzah (penghafal Al-Quran bagi perempuan).
2.       Latar Waktu
            Latar waktu berhubungan dengan masalah “kapan” terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi.
Masalah waktu dalam novel “Temui Aku di Surga” menunjuk pada waktu dan urutan waktu yang terjadi dan dikisahkan dalam cerita. Kejelasan waktu yang diceritakan amat penting dilihat dari segi waktu dan penceritaannya.
Pada novel “Temui Aku di Surga”, waktu digambarkan dengan berurutan. Hal tersebut merujuk pada kejadian yang terjadi di tahun 2000.
a.       Sekitar 2009 atau 2010
Tahun demi tahun berganti. Pekerjaan demi pekerjaan telah dilakoni oleh Yudho. Tak mudah menemukan pekerjaan yang menjanjikan bagi masa depan.  Namun Yudho tak menyerah! Tahun demi tahun ia lakoni dengan mencoba beberapa jenis pekerjaan. (Temui Aku di Surga: 13)
Pada kutipan selanjutnya, digambarkan jika Yudho mendapat penawaran bekerja dengan Solikin.
Yudho belum sepenuhnya paham apa yang dimaksud dengan bisnis kaca, apakah berjualan kaca? Berjualan di mana? Apa Solikin punya toko kaca? Berbagai pertantanyaan singgah di otak polosnya. (Temui Aku di Surga: 17)
Tak terasa, Yudho telah dua tahun menyibukkan diri di dunia kaca! (Temui Aku di Surga: 19)
Berdasar kutipan di atas, menujukkan jika latar waktu sekitar tahun 2009 atau 2010 ini merujuk pada persahabatan Yudho dan Malik yang berkenalan pada tahun 2012. Sementara, Yudho bekerja pada Solikin telah dua tahun setelah bertemu dengan Malik.
b.      2012
12 Juni 2012
Sepucuk surat telah kukirim untuk dia, Ya Allah. Maafkanlah aku. (Temui Aku di Surga: 90)
13 Juli 2012
Bagaimana kabar Mas Malik hari ini, YA Allah? Walau hati kami saling terpaut, namun aku tak pernah melihatnya secara langsung sejak pertemuan di pasar bersama Ibu. (Temui Aku di Surga: 93)
13 Desember 2012
Jika disuruh memilih, aku ingin memilih Mas Malik, juga hafalanku. Tapi memilih keduanya tak semudah itu bagiku.(Temui Aku di Surga: 99)
Pada kutipan di atas menunjukkan tulisan Hesti dalam suratnya kepada Malik, juga keresahaannya yang dialami selama beberapa bulan setelah mengetahui jika Malik memiliki rasa padanya.
c.       2013
Yudho, 03 Januari 2013
Kehidupan ...
Makin kujalani, makin berwarna
Yang datang, yang hilang, yang pergi ...
Yang sedih, yang perih, yang luka....(Temui Aku di Surga: 160)
Pada kutipan tersebut menunjukan situasi Yudho yang sedang menulis catatan pribadinya tertanggal 3 Januari 2013.
Pada tahun 2013 juga terjadi serangkaian masalah-masalah dalam novel, seperti tokoh Yudho yang baru mendaftar menjadi calon petinggi. Hal ini digambarkan pada kutipan berikut:
Selamat Datang pada
            Pemilihan kepala Desa Randuasri
            04 Agustus 2013
Semoga Pilihan Anda Tepat (Temui Aku di Surga: 195)
Kutipan di atas menunjukan adanya peristiwa pemilihan kepala desa Randuasri di mana Yudho merupakan lawan politik dari Pak Thamrin-petinggi petahanan.



3.       Latar Sosial
Latar sosial menyaran pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat yang diceritakan dalam karya fiksi.
Pada novel “Temui Aku di Surga” latar sosial digambarkan tata cara kehidupan sosial masyarakat mencakup berbagai masalah dalam lingkup yang cukup kompleks berupa kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir dan bersikap, dan lain-lain yang tergolong latar spiritual.
Seperti digambarkan pada kutipan berikut:
Yudho tak ingin berprasangka buruk. Tapi sebagian besar para sabetan melapor, ada indikasi tak baik dari pihak lawan. Mereka bermain curang!
“Mereka ke dukun.” kata seorang sabetan bernama Salim yang kebetulan berpapasan saat ia berkeliling desa. (Temui Aku di Surga: 176)
Pada kutipan di atas, digambarkan pihak lawan politik Yudho yang tak lain adalah Pak Thamrin melakukan tindakan percaya dengan dukun. Dukun atau orang pintar di novel tersebut dijadikan kebiasaan hidup tokoh Pak Thamrin.Seperti diungkap dalam kutipan berikut.
Thamrin merasa mendapat lawan yang sedikit bandel! Tapi ia yakin dengan jas Ontokusomo dan keris saktinya. (Temui Aku di Surga: 194)
Tokoh Pak Thamrin berbanding terbalik dengan Yudho, hal ini dikarenakan Yudho memiliki pandangan hidup yang tidak percaya dengan kekuatan dari dukun. Caranya bersikap menunjukkan kedekatannya dengan Tuhan. Seperti digambarkan pada kutipan berikut:
“....Para pendukungku sedang gelisah, apakah aku harus gelisah juga Tuhan? Untuk menenangkan mereka, maka satu-satunya tempatku mencari kekuatan dan bersandar adalah Kau, ya Allah ...” (Temui Aku di Surga: 178).
Tokoh dan Penokohan
            Tokoh memiliki peranan yang penting dalam mengungkapkan keseluruhan ide cerita dan peristiwa. Tokoh adalah pengemban peristiwa dalam cerita fiksi sehingga peristiwa itu mampu menjalin suatu cerita.
Pembagian tokoh di dalam novel ini cukup jelas. Ada tokoh “Yudho”yang menjadi tokoh sentral di dalam cerita. Tokoh “Yudho” pun menjadi pusat dari segala penceritaan yang terdapat di dalam novel ini. Rangkaian peristiwa yang terdapat di dalam novel ini hampir keseluruhannya dialami oleh tokoh “Yudho” dan keterlibatannya dengan tokoh-tokoh lain.
Terdapat satu orang tokoh yang dianggap sebagai tokoh antagonis karena pemikiran-pemikirannya dianggap sering bertentangan dengan pemikiran dari tokoh-tokoh lainnya di dalam cerita, yakni tokoh “Pak Thamrin”.
Selain itu, ada pula tokoh-tokoh tambahan yang turut berlakuan di dalamnya. Pada pembahasan artikel ini, dibatasi pemaparan yang dianggap berkontribusi banyak dalam keseluruhan jalan cerita, yaitu Malik, Hesti, dan Solikin. Walaupun masih banyak tokoh lainnya yang juga berlakuan di dalam masing-masing bagian, tetapi tidak semua tokoh tersebut mengambil peranan penting. Tokoh-tokoh tersebut hanya disajikan untuk melengkapi latar yang ada pada cerita dan tokoh yang seperti itu disebut sebagai tokoh lataran.
1.       Analisis Tokoh Utama pada Novel “Temui Aku di Surga”
Tokoh “Yudho” digambarkan pengarang melalui pemikiran-pemikirannya dan juga melalui lakuan yang sering dilakukannya. Tokoh “Yudho” sebagai tokoh sentral juga berhubungan dengan tokoh-tokoh lainnya di dalam cerita. Penggambaran dilakukan melalui sudut pandang orang ketiga.  Pengarang cukup banyak menggambarkan tokoh “Yudho”. “Yudho” digambarkan sebagai seorang pemuda yang memiliki pemikiran kritis, pekerja keras, dan pemberani.
Sebenarnya ia heran, dari dulu jalan-jalan di desanya selalu begini! Entah sudah berapa kali diaspal ulang. Tapi hampir setiap tahun mengalami kerusakan-kerusakan. Kerusakan jalan-jalan aspal selalu parah! Berbahaya jika musim hujan tiba. Yudho pikir ini pasti karena kualitas aspal yang tidak bagus. (Temui Aku di Surga: 20-21)
Pada kutipan di atas digambarkan tokoh “Yudho” yang memiliki pemikiran kritis mengingat ia bisa membuat kesimpulan jika jalan asal selalu rusak, padahal setiap tahun diaspal ulang, hal ini dikarenakan kualitas aspal yang tidak bagus.
Hari itu Yudho mengerjakan dua pesanan dan mengantarkan satu pesanan lagi. Pukul setengah empat sore ia telah tiba di kios lagi. (Temui Aku di Surga: 26)
Pada kutipan di atas digambarkan kegiatan pekerjaan tokoh “Yudho”, hal tersebut menunjukan jika “Yudho” merupakan seorang pekerja keras.
 KRIEKK! Suara pintu berderit saat Yudho memberanikan diri memasuki sebuah ruangan di kantor desa untuk menemui seseorang. Yudho kalem namun berusaha tegas. Seakan tak peduli bahwa ia sedang berhadapan dengan orang yang paling disegani warga Randuasri.  (Temui Aku di Surga: 184)
Pada kutipan di atas digambarkan tokoh “Yudho” yang sedang menemui tokoh “Pak Thamrin” hal tersebut guna membicarakan kabar tentang kecurangan yang dilakukan oleh petinggi petahanan itu. Hal tersebut dipertegas dengan kutipan berikut.
Darah Yudho berdesir, hawa merinding menjalari seluruh permukaan kulitnya membayangkan satu demi satu anggota keluarganya. Bapak, Emak, kakak-kakak, serta adik-adiknya. Walaupun mungkin tidak semua, atau bahkan hanya salah satu, namun ia tak rela jika di antara mereka menjadi korban dalam pencalonan ini...” (Temui Aku di Surga: 189)
Selain tokoh “Yudho” ada tokoh “Pak Thamrin” juga termasuk tokoh utama dalam novel ini. Perbedaanya sifat dan watak “Pak Thamrin” yang antagonis memiliki sifat licik. Hal ini bisa digambarkan pada kutipan berikut:
“Begini Dik ya, ini pembicaraan antara kita berdua saja. Bagaimanapun Dik, kelompok abangan memang ada, dan Dik Yudho tahu sendiri beberapa kejadian yang menimpa sebagian warga. Katakanlah mereka bernasib kurang mujur saat itu. Dan ... kemungkinan itu terjadi juga ndak bisa kita pungkiri. Bergantung...!” Pak Thamrin tak meneruskan kalimatnya. Ia berhenti sambil mengangkat kedua pundaknya. (Temui Aku di Surga: 187-188)
“Dik Yudho tahu yang terbaik seperti apa. Kalau mau pilih aman, ada jalan yang paling aman. Jagan halangi jalan saya, maka Dik Yudho seratus persen aman!” Pak Thamrin menyeringai licik.(Temui Aku di Surga: 190)
Pada dua kutipan di atas menunjukkan kelicikan yang dilakukan tokoh “Thamrin” untuk menjadi petinggi kembali ia menggunakan banyak cara, bahkan smpai mengancam orang-orang yang bisa menjadi penghalang dalam pemilihan kepala desa termasuk Yudho dan keluarganya.
“Keterangan yang diberikan Solikin, Paijo, dan Patkur dirasa sangat cukup bagi polisi untuk menangkap Pak Thamin.” (Temui Aku di Surga: 259-260)
Kutipan di atas menunjukkan akhir dari kelicikan yang dilakukan tokoh “Pak Thamrin” yang ditangkap oleh polisi.
2.       Analisis Tokoh Tambahan dalam Novel “Temui Aku di Surga”
Tokoh “Malik” dalam novel ini digambarkan sebagai sahabat “Yudho” di mana, setiap kegelisahan dan masalah yang membalut tokoh ini diceritakan pada “Yudho.” Seperti tergambar pada kutipan berikut.
“Aku ingin menjadi kepala desa ...”
“Jadi petinggi?” Yudho mengernyitkan dahinya. Petinggi adalah istilah untuk kepala desa di tempat mereka. (Temui Aku di Surga”: 76)
Pada kutipan lain dijelaskan tentang cerita masa lalu tokoh “Malik”.
“Trus ... jaket yang robek itu?” tanya Yudho makin penasaran dengan kehidupan Malik.
“Yang kena clurit?”
“Hmmh...,” Malik menarik napas panjang, tersenyum, matanya menerawang seolah mengingat-ingat sesuatu. Lalu tiba-tiba bibirnya bergerak memulaik isahnya. Yudho menyimak dengan khidmatnya.” (Temui Aku di Surga: 46)
Pada kutipan tersebut terdapat dialog antara tokoh Malik dan Yudho, di mana Malik menceritakan masa lalunya saat menjadi anggota geng Topanx yang membuatnya pernah dipenjara, juga melalukan tawuran hingga jaketnya robek.
Tiba-tiba Malik menyorongkan selembar kertas yang telah kusut, sangat kusuk bahkan terdapat robekan-robekan kecil di beberapa bagian. Yudho segera menerima kertas itu. (Temui Aku di Surga: 109)
Kutipan di atas menunjukan situasi di mana Malik merasa tak bersemangat sejak menerima surat dari tokoh Hesti. Di mana dalam surat tersebut menyatakan jika lebih baik cinta antara keduanya tak terjalin sebelum ada kehalalan dari Allah.
 “Jika disuruh memilih, aku ingin memilih Mas Malik, juga hafalanku. Tapi memilih keduanya tak semudah itu bagiku. Aku bukan wanita luar biasa yang bisa menjalani hubungan asrama sekaligus lancar dalam menghafal ayat-ayat suci....” (Temui Aku di Surga: 99)
Tokoh “Hesti” pada novel ini digambarkan sebagai seorang muslimah yang sedang berusaha menghafal Al-Qur’an atau biasa disebut sebagai hafizah. Pada kutipan tersebut, tokoh “Hesti” mengalami kegelisahan yang dalam jiwanya. Rasa cintanya pada tokoh “Malik” membuatnya kurang berkonsentrasi dalam menghafal ayat-Nya.
Tokoh “Solikin” dalam novel ini digambarkan sebagai mantan bos Malik di bisnis perkacaan, perangainya pendendam dan pelit. Namun, di suatu sisi ia memiliki sifat yang mudah bertobat atas kesalahan yang dibuatnya.
Seperti digambarkan pada kutipan berikut:
“Jadi memang tak pernah naik?” ulang istrinya lagi.
“Ya memang ndak ada kenaikan ... nyari untung ndak gampang Yuk, sayang jika harus dikasih orang lain. Kupikit apa yang kuberi sudah banyak ...” akhirnya keluar juga pengakuan itu. (Temui Aku di Surga:62)
Pada kutipan tersebut dijelaskan percakapan antara tokoh “Solikin” dan “Yayuk” di mana, tokoh “Yayuk” menyimpulkan jika alasan “Yudho” berhenti kerja salah satunya karena kurangnya gaji yang diterima. Padahal, “Yudho” bekerja sudah dua tahun lebih.
 “Iya Pak. Ee... saya, disuruh Pak Thamrin membayar panitia acara pemilihan, untuk ... mengupayakan agar hasil pemilihan dimenangkan beliau, gitu Pak...” (Temui Aku di Surga:240)
“Memang ... aku sempat membenci kalian berdua. Tapi aku juga tak senekat itu, aku masih waras! Waktu itu, aku mengetahui kalu Malik pulang dari Surabaya. Kebetulan aku sedang lewat di belakang rumahmu. Aku mencuri dengar pembicaraan bapakmu sama Ibumu.:
“Lalu?” sahut Yudho.
“Lalu ... kebetulan beberapa jam setelah itu aku ditemui seseorang, suruhan Pak Thamrin. Ia mau membayaku mahal asal mau melakukan sedikit hal pada Malik, yang akan menjadi lawan Pak Thamrin pada pemilihan petinggi.” (Temui Aku di Surga: 242)
Pada kutipan tersebut, diceritakan pengungkapan misteri kematian Malik, bahwasanya Pak Thamrin menyuruh Solikin untuk melakukan suatu hal kepada Malik yang akan menjadi lawan politiknya. Namun, tokoh “Solikin” tak memiliki keberanian untuk melakukan hal tersebut. Hal itu kemudian diperjelas pada kutipan berikut:
“Demi Allah ... semula memang aku niat jahat, tapi ... demi Allah aku tak jadi melakukannya! Sepeda motor itu yang menabrak.”
“Junkpret?”
“Iya, tulisannya Junkpret.” (Temui Aku di Surga: 243)



Plot dan Pemplotan
            Pada pembahasan makalah ini dipilih tahapan plot rincian lain. Hal ini dikarenakan tahapan plot tersebut lebih rinci. Rincian yang dimaksud yaitu membedakan tahapan plot menjadi lima bagian. Kelima tahapan itu adalah sebagai berikut:
1.      Tahap Penyituasian
Tahap ini merupakan tahap yang berisi pelukisan dan pengenalan situasi latar dan tokoh-tokoh cerita. Penyituasian dalam novel ini diawali dengan penggambaran tokoh “Malik” yang baru tiba di tempat geng-nya. Seperti digambarkan pada kutipan berikut:
Malik menghentikan sepeda motor tepat di depan markas geng Topanx. Geng yang telah diikutinya sekitar dua tahun lalu itu adalah perkumpulan anak muda yang punya nama di Jepara. Malik melaju ke sana tanpa helm, SIM, dan STNK. Nekat! Gara-gara ia emosi karena tak juga dibelikan sepeda motor Kawasaki Ninja. (Temui Aku di Surga: 1)
Penyituasian Malik yang baru tiba di tempat geng-nya itu berlanjut hingga membuat Malik nekat melakukan tindakan tawuran antar geng. Akibatnya, ia pun terkena tusukan celurit dan dibawa ke rumah sakit.
Sementara itu, penggambaran atau penyituasian tokoh “Yudho” berada di bab selanjutnya. Yakni tergambar pada kutipan berikut:
Di antara rumah-rumah yang berjajar berselang-seling dengan pepohonan pisang itu berdiri sebuah rumah sederhana yang dihuni oleh pasangan suami istri, Pak Zaenuri dan Bu Zaenuri, yang jatuh bangun membesarkan anak-anaknya.
Salah satu anak mereka bernama Yudho Marzuki, yaitu anak yang ketiga. (Temui Aku di Surga: 11-12)
Pada penggambaran selanjutnya, terdapat pengenalan tokoh yang nantinya akan memunculkan konflik dalam kehidupan Yudho dan Malik.
Assalamualaikum!” terdengat suara salam dari halaman rumah bersamaan dengan datangnya seseorang. Seorang tetangga. Ia bernama Solikin. Perawakannya lebih pendek dan lebar daripada tubuh Yudho, berkulit sawo matang dengan wajah mirip Rano Karno.             (Temui Aku di Surga: 15)
Pada kutipan tersebut menjelaskan penggambaran tubuh tokoh “Solikin”. Di mana, yang nantinya tokoh bernama Solikin itu yang nantinya memunculkan konflik dalam kehidupan Yudho dan Malik.
2.      Tahap Pemunculah Konflik
Pada tahap ini masalah-masalah dan peristiwa-peristiwa mulai dimunculkan. Pemunculan konflik dalam novel ini dimulai dengan Yudho yang berhenti bekerja pada Solikin, lalu hubungan Malik dan Hesti yang tak sesuai dengan harapan Malik, dan Malik yang mencalonkan diri menjadi kepala desa. Seperti digambarkan pada kutipan berikut:
“Sementara itu, di sebuah rumah sederhana yang letaknya tak jauh dari rumah Yudho, seseorang merasa kecewa. Ia tak menduga Yudho akan keluar kerja! Apalagi dengan jujur mengatakan bahwa ia akan membuka usaha sendiri bersama seorang teman. Ia merasa kebaikannya selama ini terkhianati!
“Kurang ajar anak kemarin sore itu!” sungut lelaki yang mirip Rano Karno itu kesal. (Temui Aku di Surga: 53)
Pada kutipan tersebut digambarkan tokoh Yudho yang berhenti kerja kepada tokoh “Solikin” hal ini membuat tokoh “Solikin tidak terima, sehingga mencari tahu dengan siapa tokoh “Yudho” membuka usaha. Seperti digambarkan pada kutipan berikut:
Seperti orang kurang kerjaan, ia berusaha memata-matai gerak-gerik Yudho. Pagi itu ia sengaja menunggu Yudho bersama sepeda motornya lewat depan rumah. Setelah berlalu beberapa puluh meter, ia langsung menghidupkan sepeda motornya dan mengikuti sarah laju sepeda Yudho. Hingga pada saatnya sepeda motor Yudho berbelok ke sebuah rumah, ia pun mangut-mangut.
“Mungkin dengan anaknya Pak Rohmadi...” Ia tersenyum sinis, lalu tetap melanjutkan sepeda motornya dengan tarikan lebih kencang. (Temui Aku di Surga: 88)
Konflik lain muncul dalam kehidupan Malik sebagai tokoh tambahan yakni ketika datang sebuah surat berisi jika lebih baik Malik dan Hesti tidak memiliki ikatan dalam bentuk apapun. Selain itu, ada isi hati Hesti yang membutuhkan konsentrasi penuh untuk menghafal Al-Qur’an dan hal tersebut tidak akan bisa jika hubungan yang tidak halal meski hanya sebatas kirim-mengirim surat itu tetap terjadi.
Situasi konflik batin Malik ini tergambar pada kutipan berikut:
Malik tak tahu harus bagaimana bersikap saat ini. Ada rasa menyakitkan yang serasa menusuk ulu hatinya, menyesakkan dada. Ada rasa tak percaya, tak mengerti. Napasnya turun naik menahan gejolak hati yang ia rasakan. Ada sesuatu yang ia rasa akan hilang, atau ... memang telah hilang! (Temui Aku di Surga: 108)
Pemuncul konflik Malik yang ingin menjadi petinggi pun muncul seperti digambarkan pada kutipan berikut:
“Aku ingin mencalonkan diri jadi kepala desa...”
“Jadi petinggi?” Yudho mengernyitkan dahinya... (Temui Aku di Surga: 76)
“Terus, sejauh mana kesiapan Malik, Pak? Dia masa bisa serius tho!”
“Ssst! Diam-diam aku sama teman-temanku sudah ngomongin hal ini lho!”
...
Sementara itu sepasang teling ikut mendengarkan pembicaraan suami istri yang sudah setengah tua itu. Sepasang telinga milik seseorang yang sosoknya tersembunyi dari pandangan mata manusia lain. Kemudian bibir pemilik sepasang telinga itu tersenyum sinis seraya meninggalkan persembunyiannya, cepat-cepat! (Temui Aku di Surga: 128)
Pada dua kutipan tersebut dijelaskan keinginan Malik yang ingin menjadi petinggi. Di mana kutipan pertama adalah dialog Malik dan Yudho dan kutipan kedua dialog antara orang tua Malik. Berdasar dialog kedualah muncul konflik bahwasanya ada seseorang yang mencuri dengar pembicaraan tersebut dan berdampak pada peningkatan konflik.
3.      Tahap Peningkatan Konflik
Pada tahap ini konflik yang telah dimunculkan pada tahap sebelumnya semakin berkembang dan dikembangkan kadar instensitasnya. Peristiwa-peristiwa dramatik yang menjadi inti cerita semakin mencengkam dan menegangkan. Konflik-konflik yang terjadi, internal, eksternal, ataupun keduanya, pertentangan-pertentangan, benturan-benturan antar kepentingan, masalah, dan tokoh yang mengarah ke klimaks semakin tidak dapat dihindari.
Konflik yang sudah terjadi semakin meningkat. Pada konflik Malik yang ingin menjadi petinggi terjawab dengan ia yang ditabrak seseorang. Seperti digambarkan pada kutipan berikut:
Bus pun berhenti. Setelah membayar ongkos, Malik turun dengan tergesa karena tak sabar ingin sampai di rumah. Sesaat kemudian ia sibuk dengan ponselnya, menelpon Bapak minta dijemput. Jalan di seberang tempatnya berdiri sekarang adalah jalan raya menuju Desa Randuasri. Tak ada angkudes, dan untuk naik becak pun dirasa terlalu lama. Ia memutuskan menyeberang langsung di pertigaan itu.
Tiba-tiba ...
DESS!
Sebuah benturan keras santara sepeda motor yang dilarikan begtu kencang oleh pengemudinya, dengan tubuh seseorang yang sedang menyeberang di pertigaan itu. Tubuh Malik! (Temui Aku di Surga: 130)
Innalillahi wainnaalillahi raajiuun, Innalillahi wainnaalillahi raajiuun, Innalillahi wainnaalillahi raajiuun, telah meninggal dunia Malik Julian Santosa...”
Ia tak perlu mendengarkan kelanjutan pengumuman dengan pengeras suara itu lagi. Telah jelas kini apa yang sedang terjadi. Lemas rasanya seluruh raga, jiwa, dan hatinya.
“Malik...,” gumamnya tertahan. “Innalillahi wainnaalillahi raajiuun ..”(Temui Aku di Surga: 132)
Pada dua kutipan tersebut menjelaskan kematian “Malik” yang membuat konflik dalam novel ini semakin meningkat. Konflik lain muncul menimpa tokoh “Hesti” yang tidak percaya dengan kabar kematian “Malik”, ia juga merasa bersalah atas keputusan yang telah diambilnya. Seperti tergambar dari kutipan berikut:
“Ibu ... Mas Malik ..., Mas Malik ...,” Hesti tak meneruskan kata-katanya. Ia hanya ingin tenggelam dalam dekapan wanita yang selalu mengasihinya itu dalam tangis yang sedari tadi ia tahan.
“Sabar ... belum jodohmu...,” ucap Bu Marisah. (Temui Aku di Surga: 143)
“Oh ya Yud, ada berita tentang pencalonan petinggi, petinggi...!” kata Pak Rohmadi.
....
“Gimana kalau kamu yang mencalonkan diri, Yud?”
Sebaris kata yang baru saja keluar dari mulut Pak Rohmadi membuatnya terhenyak. Remote control yang digenggamnya sampai terlepas! Seakan ia tak percaya mendengarkan kalimat itu.        (Temui Aku di Surga: 148)    
Pada kutipan di atas dijelaskan keinginan Pak Rohmadi agar Yudho menjadi calon petinggi, sekaligus melanjutkan cita-cita Malik.



4.      Tahap Klimaks
Pada tahap ini konflik dan atau pertentangan-pertentangan yang terjadi, yang dilakui, dan atau ditimpakkan kepada para tokoh cerita mencapai titik intensitas puncak.
Tahap klimaks pada novel “Temui Aku di Surga” ini muncul ketika Yudho menerima tawaran Pak Rohmadi untuk mendaftarkan diri menjadi petinggi. Berbagai peristiwa aneh pun terjadi dalam pencalonan Yudho, mulai dari ancaman dari pihak Pak Thamrin sampai kegagalan dalam pemilihan. Seperti diungkap pada kutipan berikut:
“Begini Dik ya, ini pembicaraan antara kita berdua saja. Bagaimanapun Dik, kelompok abangan memang ada, dan Dik Yudho tahu sendiri beberapa kejadian yang menimpa sebagian warga. Katakanlah mereka bernasib kurang mujur saat itu. Dan ... kemungkinan itu terjadi juga ndak bisa kita pungkiri. Bergantung..!” Pak Thamrin tak meneruskan kalimatnya. Ia berhenti sambil mengangkat kedua pundaknya. (Temui Aku di Surga: 188)
Pada kutipan tersebut dijelaskan tentang ancaman Pak Thamrin kepada Yudho jika memang kelompok abangan yang menakuti calon pemilih memang ada,  bahkan ancaman itu juga berlaku pada keluarga Yudho. Seperti dikutip pada kutipan berikut:
“Darah Yudho berdesir, hawa merinding menjelajari seluruh permukaan kulitnya membayangkan satu demi satu anggota keluarganya. Bapak, Emak, kakak-kakak serta adik-adiknya. Walaupun mungkin tidak semua, atau bahkan hanya salah satu, namun ia tak rela jika di antara mereka menjadi korban dalam pencalonan ini.” (Temui Aku di Surga: 189)
Puncak klimaks dalam novel ini tergambar tatkala Yudho kalah dalam pemilihan kepala desa. Seperti tergambar pada kutipan berikut:
Astaghfirulahaladziem ...,” Yudho berkaca-kaca. Pak Rohmadi langsung bergegas menyongsong tubuh Yudho di antara riuh suara dan tubuh-tubuh manusia yang berjejal ingin memberi salam pada Pak Thamrin. (Temui Aku di Surga: 210)
5.      Tahap Penyelesaian
Pada tahap ini konflik yang telah mencapai klimaks diberi penyelesaian, ketegangan dikendorkan.
Kekalahan yang menimpa Yudho di novel ini diberi penyelesaian, ketegangan dikendorkan. Seperti tergambar pada kutipan berikut:
“Anu ... Pak. Saya ingin bersaksi... bahwa... bahwa pemilihan petinggi di desa Randuasri sebulan lalu itu... tidak fair, Pak ...”
...
 “Iya, sebenarnya itu bukan hasil pemilihan yang asli. Eh, karena ... Pak Thamrin sudah memalsukan suara.”(Temui Aku di Surga: 239)
Berdasar kutipan tersebut diketahui jika pihak Pak Thamrin melakukan tindakan curang dalam pemilihan kepala desa. Apalagi tokoh “Solikin” mengakui hal tersebut bersama Yudho di depan polisi. Hal tersebut kemudian diperjelas pada pekerjaan polisi yang tergambar pada kutipan berikut:
Dari penyidikan yang dilakukan dengan saksama dan serius akhirnya terkuak bahwa Pak Thamrin telah menyuruh seseorang, dalam hal ini Solikin, untuk memberikan sejumlah uang kepada dua orang oknum panitia pemilihan untuk mengupayakan agar hasil penghitungan suara dimenangkan olehnya. Paijo dan Patkur mengakui hal tersebut. (Temui Aku di Surga: 251)
Pada kutipan tersebutlah, akhirnya terjawab teka-teki kekalahan Yudho, dan mengingat kecurangan yang dilakukan pihak Pak Thamrin. Akhirnya, Yudho diangkat menjadi petinggi. Hal tersebut digambarkan pada kutipan berikut:
Yudho bersiap-siap berangkat ke balai desa. Seragam setelah warna cokelat kekuningan ia kenakan bersama peci hitam di kepala. Tak lupa sepatu hitam klimis ia kenakan bersama kaus kakinya. Ia telah menghabiskan sarapan tahu pecel yang disediakan khusus oleh Emak.
(Temui Aku di Surga: 265)
Kutipan di atas menjelaskan aktivitas Yudho sebelum berangkat ke balai desa sebagai petinggi. Kutipan tersebut juga menjelaskan bahwasanya kelicikan atau kebusukan yang dilakukan Pak Thamrin tidak akan menang melawan kebaikan.
Selain, permasalahan kekalahan Yudho dalam pemilihan kepala desa. Pada tahap ini juga terkuak teka-teki meninggalnya Malik. Seperti digambarkan pada kutipan berikut:
“Ketika Bus Indonesia itu datang. Aku memutuskan urung menabrak Malik. Aku juga tak mau nanti dikejar-kejar polisi. Tapi...”
“Tapi apa?!!” sahut Yudho.
“Sebuah sepeda motor keluar dari belakang tokoh di seberang tempat aku sembunyi. Sepeda itu melaju tak begitu kencang ke arah yang berlawanan dengan Bus Indonesia. Lalu bus itu perdi dan kulihat Malik sudah berada di seberang. Aku makin mantap tak akan melakukan kejahatan pada Malik. Tapi begitu Malik menyeberang, sepada motor yang baru keluar tadi berbalik arah, melaju sangat kencang dan ... menabrak tubuh Malik. Aku ... akan melihat semuanya..”
“Bagaimana Anda bisa yakin itu sepada motor yang baru keluar dari belakang toko tadi?”
“Ya, saya yakin sekali. Karena bentuknya agak aneh, dan terutama ada tulisan ini...” sejenak kalimat Solikin terhenti. Ia memejamkan mata seakan ingin mengingat-ingat sesuatu.
“Junkpret!”
“Bisa diulang?” sahut Pak Polisi.
“J ... U ... N ... K ... P ... R ... E ..T,” Solikin menyebutkan susunan huruf yang membentuk kata yang ia lihat.(Temui Aku di Surga: 243-244)
Pada kutipan tersebut, tokoh “Solikin” mengaku jika ada niatan untuk menabrak tokoh “Malik” namun tidak jadi dilakukan karena tokoh “Solikin” takut berurusan dengan polisi. Kemudian, ada sepeda motor yang memiliki tulisan JUNKPRET menabrak tokoh “Malik” hingga menyebabkannya meninggal.
Mengetahui hal tersebut, Yudho segera mencari tahu arti dari kata Junkpret itu. Ia pun menemukan tulisan tersebut dalam buku agenda Malik.
“Mungkin ini jawabnya, Pak ... Masa lalu Malik tiba-tiba  hadir di saat ia telah berubah. Ironisnya ... tanpa permisi masa lalu itu telah menjemputnya dari indahnya kehidupan. Sepeda motor yang nabrak Malik ada tulisan Junkpret. Begitu kata Mas Solikin, saksi peristiwa naas itu..,” kata Yudho akhirnya.
“Oalah..., yang katamu... dulunya Malik ikut geng-geng itu toh?”
“Iya ... dulu sebelum ia tobat dan masuk pesanteren.”
“Jadi ... yang nabrak ... anak geng lain? Di situ ... di buku Malik disebut junkpret adalah nama geng musuh bebuyutan?”
“Sementara yang bisa saya simpulkan itu, Pak. Benar-benar tidak terduga. Saya tak sempat berpikir ke arah situ..”
“Kamu akan beritahukan ke Pak Rohmadi?”
Yudho tak segera menjawab. Ia menarik napas panjang. Kembali ia bertanya, perlukah kiranya kasus ini diungkap kembali di saat keluarga Pak Rohmadi sudah tak mengalami trauma lagi? Bermanfaatkah? (Temui Aku di Surga: 258)
Pada kutipan tersebut menjelaskan tentang misteri kematian Malik, walaupun begitu Yudho tak mengungkap permasalahan itu kepada orang lain. Cukup dirinya dan bapaknya saja yang mengetahui hal tersebut. Mengingat dilihat dari segi kemanfaatan menguak misteri ini kecil. Apalagi, keluarga Pak Rohmadi sudah menjalani kehidupan lebih tenang dan damai. Selain itu, mengungkap misteri itu akan menambah masalah baru. Semisal permasalahan antargeng yang mungkin timbul kembali.
Kritik Sastra Mimesis dalam Novel “Temui Aku di Surga”
Kaitan antara kenyataan dan rekaan dianggap penting oleh para ahli sastra. Keduanya tidak dapat dipisahkan dan saling membutuhkan satu dengan yang lainnya. Hal ini dikarenakan,  suatu karya sastra (rekaan) pastilah berasal dari sebuah kenyataan di lapangan. Pada novel “Temui Aku di Surga” terdapat beberapa hal yang berdasar terjadi atau terinspirasi dari kisah nyata. Seperti peristiwa sebagai berikut:
1.      Kehidupan Remaja
Remaja adalah manusia yang sedang mencari jati dirinya. Hal ini juga menimpa Malik, di mana ia tergabung dalam geng Topanx yang cukup memiliki nama di wilayah Jepara. Geng Topanx sendiri di dalam novel ini memuat peristiwa tawuran. Seperti digambarkan pada kutipan berikut:
Malik tak berpikir panjang lagi. Saatnya membuktikan loyalitas sesama anggota geng! Di sisi lain, sesungguhnya ia juga ingin melampiaskan kekesalan yang sedang ia rasakan pada keluarga. Mungkin dengan turun tawuran, mereka akan menyesal telah mengabaikan permintaanku, begitu pikir Malik.
Malik menuju tempat tawuran. Dari balik tembok sebuah bangunan di sekitar lapangan, mata Malik menyaksikan mereka yang sedang beradu otot. Bahkan ada yang membawa senjata tajam! Mendadak Malik menjadi ngeri sendiri. (Temui Aku di Surga: 2)
“Hoii! Janga larii!” anak geng lain itu meneriakinya.
Malik langsung berlari menjauh! Tapi anak itu mengejar. Malik mempercepat lariya, dan si pengejar juga makin cepat! Malik sangat gusar karena anak itu membawa clurit. Tiba-tiba saja ia sudah sangat dekat di belakang Malik. Dan ...
SHREK!
“Aaaghh!” pekik Malik.
Mata clurit itu dikibaskan ke arahnya. (Temui Aku di Surga: 3)
Pada kutipan di atas dijelaskan aktivitas Malik ketika tawuran dengan geng lain, serta nasib yang kurang beruntung menimpanya yakni terkena clurit geng lawan. Data di atas juga terjadi dalam kehidupan masyarakat Indonesia khususnya bagi remaja, yakni apabila terjadi gesekan sedikit saja di antara anggota geng dengan geng lain. Tawuran menjadi solusinya. Hal ini dapat dibuktikan pada data berikut:
Aksi brutal kelompok geng motor yang menyerang lawannya di SPBU Shell Jalan Danau Sunter, Jakarta Utara Sabtu malam, 7 April lalu, terekam kamera CCTV. Berbekal rekaman itu, polisi mulai menyelidiki kasus penyerangan yang menewaskan seorang warga Koja, Jakarta Utara serta melukai tiga orang lainnya. Satu orang diamankan polisi Rabu kemarin. 
Dari rekaman CCTV tertanggal 7 April 2012 ini, terlihat sejumlah pria berbadan tegap dan masih menggunakan helm, masuk ke minimarket SPBU Shell di Jalan Danau Sunter, Jakarta Utara, untuk memburu sejumlah lawan mereka yang bersembunyi di dalamnya.
Diperlihatkan penganiayaan dan aksi brutal dilakukan geng motor terhadap sejumlah remaja. Akibat aksi brutal kelompok ini, Soleh, remaja berusia 17 tahun warga Koja, Jakarta Utara ditemukan tewas dengan luka bekas penganiayaan berat. Aksi tersebut juga mengakibatkan 3 orang lainnya yakni Zaenal, Reza dan Ardian mengalami luka-luka. (Indosiar.com, Jakarta: Kamis, 12.04.2012)
Pada data dijelaskan terdapat data beberapa korban yang mengalami tindakan brutal, bahkan hal tersebut sampai menewaskan seorang warga Koja. Hal ini menunjukan jika tawuran antar geng tidak memiliki manfaat. Berdasar hal tersebut, seharusnya dibutuhkan peran banyak pihak agar kejadian serupa tak terjadi kembali. Seperti peran orang tua, guru, dan masyarakat itu sendiri.



2.      Tata Cara Pencalonan Pemimpin
Pemilihan umum baik itu kepala daerah, presiden, atau pun pemilihan kepala desa selalu identik dengan uang atau yang dinamakan money politic. Padahal untuk melakukan pendaftaran sebenarnya itu digratiskan. Hanya saja, untuk mendapatkan hati calon pemilih cara money politic digunakan.
Pada novel Temui Aku di Surga hal ini begitu tergambar jelas, seperti kutipan berikut:
 “Ya... begini ini kalau sistem sudah terlanjur ndak baik tapi jalan terus. Mau mencalonkan diri saja harus bingung cari modal. Ndak hanya calon dewan saja yang butuh uang banyak, calon petinggi di desa juga ndak kalah berat di ongkos...”
“Iya Pak ya... gimana kalau kita nekat maju tanpa ongkos, Pak, jadi kalau kalah pun ... ndak akan sia-sia uangnya...” Tiba-tiba Yudho melontarkan ide itu.
Ia juga heran, kenapa harus bingung masalah modal yang berpuluh-puluh juta? Sebenarnya untuk apa? Yang resmi kan hanya uang pendaftaran saja kan? Bahkan kabar terbaru biaya pendaftaran digratiskan.
(Temui Aku di Surga: 164)
Kejadian politik uang dalam dunia nyata juga terjadi di berbagai daerah di Indonesia salah satunya Jawa Timur. Seperti dikutip dalam merdeka news berikut:
 Rizal Ramli melihat proses demokrasi telah dicederai.  Pemilihan Gubernur (Pilgub) Jawa Timur 2013, kembali diwarnai politik uang dan kekuasaan seperti tahun 2008 silam.
Menurut Rizal, dengan kekuasaannya itu, pemerintahan telah menghancurkan proses demokrasi mulai dari Jawa Timur yang ditandai dengan penjegalan pasanganA Khofifah Indar Parawansa-Herman S Sumawiredja (BerKah) sebagai calon gubernur dan wakil gubernur Jawa Timur.
“Masyarakat Jawa Timur, adalah masyarakat yang sangat egaliter, tak akan terpengaruh dengan kekuasaan dan uang, tapi pemerintah dengan segala cara justru menghancurkannya dengan politik uang. Pada Pilgub Jatim 2008 lalu, permainan suara melalui IT dan penyelenggara Pemilu, sukses memenangkan pasanganA Soekarwo-Saifullah Yusuf, tandas Rizal saat dihubungi Selasa (23/7) malam .
Rizal mengingat, Pilgub Jawa Timur 2008 itu terjadi hingga tiga putaran, dan menurut dia selama itu pula politik uang dan kecurangan tetap berlangsung.
“Ini kotor dan sangat memprihatinkan. Di tahun 2013 ini, Khofifah kembali dijegal melalui persyaratan partai-partai pendukung, yang juga dengan politik uang yang nilainya mencapai miliaran rupiah untuk satu partai,” tegas dia.  (Peistiwa.com, Jakarta: Rabu 24 Juli 2013
Pada kutipan di atas menjelaskan jika pemilihan gubernur di Jawa Timur terdapat kecurangan yang dilakukan lawan pasangan dari Khofifah Indar Parawansa-Herman S Sumawierdja (BerKah). Pemilihan kepala daerah di Indonesia memang identik dengan money politic, hal ini dikarenakan keadaan masyarakat Indonesia yang berada di bawah angka garis kemiskinan atau berpendidikan rendah. Padahal, money politic bisa juga diartikan sebagai penggadaian diri kepada pihak (calon pemimpin) yang menang dan hal tersebut sangat merugikan. Apalagi jika menang, pihak pemimpin yang melakukan money politic akan menggunakan berbagai cara agar uangnya kembali salah satunya korupsi.
Oleh karena itu, masyarakat dituntut kritis dalam memilih sosok pemimpin. Apalagi jika pemimpin tersebut terindikasi menggunakan cara kotor atau politik uang dalam pencalonannya. Pasalnya, satu suara yang dibeli seharga dua puluh ribu rupiah hingga lima puluh ribu rupiah tidak akan ada harganya jika dibagi lima tahun (masa pemerintahan).
3.      Sistem Kepercayaan Kekuatan Dukun
Ilmu perdukunan di Indonesia jelas-jelas ada, begitu banyak orang yang percaya akan kekuatan dukun dibanding kekuatan dari Tuhan. Padahal, jika terlalu mempercayai dukun membuat seseorang itu musyrik. Namun, bagaimana pun kepercayaan akan kekuatan dukun tak bisa dihilangkan begitu saja. Sekalipun zaman telah banyak berubah.
            Pada novel Temui Aku di Surga, kepercayaan akan kekuatan dukun begitu tergambar jelas. Seperti pada tokoh “Pak Thamrin” yang menggunakan jas ontokusumo dan keris untuk memudahkan ia menduduki kursi sebagai petinggi. Hal ini digambarkan pada kutipan berikut:
 “Mereka ke dukun.” Kata seorang sabetan bernama Salim yang kebetulan berpapasan saat ia berkeliling desa. (Temui Aku di Surga: 176)
 “Para pendukung Pak Petinggi itu ... dari dulu memang begitu tho, Pak, iya kan?  Makanya dari saudaranya dulu, yang pemilihan sebelum Pak Petinggi juga pakai cara gitu kok .. Kita harus punya strategi jitu ...,” Pak Salim menyahut berapi-api.  (Temui Aku di Surga: 178)
Thamrin merasa mendapat lawan yang sedikit bandel! Tapi ia yakin dengan jas Ontokusomo dan keris saktinya. (Temui Aku di Surga: 194)
Selain terjadi di dunia novel, kepercayaan terhadap dukun di dunia nyata apalagi bagi calon kepala daerah yang sedang ingin memikat hati calon pemilihnya. Kekuatan dukun dijadikan barang biasa. Hal ini bisa dikutip pada kutipan berikut:
Ketika dimulai proses pencalonan kepala daerah, anggota tim sukses seorang calon mendatangi orang pintar untuk minta petunjuk. Orang pintar itu segera membakar dupa, melakukan ritual penerawangan dengan bersemedi.
"Calon kalian dapat menang kalau dipasangi mahkota trisakti," kata mbah Dukun.
Lalu terjadi negosiasi. Setelah ada kesepakatan, mahkota trisakti imajiner dipasangkan di kepala sang calon dengan imbalan Rp 20 juta.
Sang calon terpilih, menang dengan perbedaan suara menyakinkan terhadap lawan politiknya. Kenyataan itu membuat orang pintar tersebut naik pamor. Lebih penting lagi, calon terpilih yang kini duduk di singgasana kekuasaan, percaya bahwa dirinya telah ditolong oleh suatu kekuatan supranatural melalui (perantara) orang pintar itu. Oleh sebab itu, ketika ia berkuasa, dengan mudah para dukun lain juga mendekatinya. (Tribunnews.com, Pontianak: Sabtu, 10.01.2015)
            Kepercayaan atas kekuatan dukun ini menjadi barang penting dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Selain itu juga terdapat sebuah kepercayaan, di mana seorang penguasa sering terancam oleh berbagai kekuatan jahat black magic. Lawan-lawan politik dan kelompok yang tidak suka kepadanya dapat menyerangnya dengan santet atau pulung. Jika secara fisik dan psikis dia lemah, maka penyakit aneh hinggap mendera. Penyakit yang tidak dapat didiagnosa secara medis oleh dokter berdasarkan ilmu kesehatan modern.
 Hal ini juga terjadi dalam novel Temui Aku di Surga, namun, sebagai lawan politik Pak Thamrin, Yudho tak mengalami hal-hal aneh baik fisik maupun psikis. Dikarenakan tokoh ini digambarkan dekat akan Tuhan-nya.
Oleh karena itu, dapat diketahui jika kedekatan manusia dengan Tuhan-nya bisa menjadi penangkal kejahatan yang dilakukan oleh dukun atau orang yang tidak suka terhadap manusia tersebut. Bukti-bukti kedekatan manusia dan Tuhan bisa dilihat dalam realitas sehari-hari, seperti tercermin dalam tingkah laku, ritual peribadatan, dan lain-lain.
4.      Masa Lalu adalah Cerminan Masa Depan
Novel Temui Aku di Surga ini awalnya mengisahkan tokoh “Malik” yang ingin menjadi petinggi. Namun, kemudian tokoh “Malik” mendapat kecelakaan yang menyebabkan ia meninggal. Ternyata, pihak pelaku penabrak adalah orang yang berada di masa lalu Malik. Yakni, anggota geng Junkpret. Seperti digambarkan pada kutipan berikut:
“Demi Allah ... semula memang aku niat jahat, tapi ... demi Allah aku tak jadi melakukannya! Sepeda motor itu yang menabrak.”
“Junkpret?”
“Iya, tulisannya Junkpret.” (Temui Aku di Surga: 243)
“Mungkin ini jawabnya, Pak ... Masa lalu Malik tiba-tiba  hadir di saat ia telah berubah. ironisnya ... tanpa permisi masa lalu itu telah menjemputnya dari indahnya kehidupan. Sepada motor yang nabrak Malik ada tulisan Junkpret. Begitu kata Mas Solikin, saksi peristiwa naas itu..,” kata Yudho akhirnya. (Temui Aku di Surga: 258)
Berdasar kutipan di atas, dijelaskan tokoh “Malik” yang meskipun sudah bertobat ke arah yang benar. Namun, ternyata musuhnya di masa membuatnya meninggal dan tidak bisa mencalonkan diri menjadi petinggi. Pada kehidupan dunia nyata, terdapat beberapa calon pemimpin yang memiliki masa lalu kelam, dan menjadi pro-kontra bagi masyarakat pemilihnya. Seperti kisah Ayu Azhari dan Maria Eva.
Munculnya nama artis Khadijah Azhari atau lebih dikenal Ayu Azhari dalam bursa bakal calon wakil bupati pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, pada 2010 memicu pro dan kontra di masyarakat.
Keiikutsertaan Ayu Azhari dalam pilkada melalui Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) pada Kamis (24/12) itu membuat sebagian warga yang ditemui pada Jumat, tidak menyetujui bila istri vokalis White Lion, Mike Tramp itu menjadi Wakil Bupati Sukabumi periode 2010-2015. Namun sebagian warga menyetujuinya. (Selebtempo.com, Jakarta: Kamis, 25 Februari 2010)
Pedangdut Maria Eva menyesalkan statement Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Gamawan Fauzi soal pezina tak boleh maju dalam pemilihan kepala daerah (pilkada).
"Kalau (statement) itu ditujukan kepada saya, kenapa tidak disampaikan pada saat bertemu (Gamawan Fauzi)," kata Maria Eva kepada Rakyat Merdeka Online sesaat lalu. (Vivanews.com, Jakarta: Senin, 12.04.2010)
Pada dua kasus Ayu dan Maria Eva memang tak seratus persen sama dengan kisah Malik. Namun, dari dua kasus pesohor dan tokoh novel tersebut memiliki benang merah yang sama, yakni masa lalu dapat membuat seseorang terganggu dalam meraih mimpi atau cita-citanya.
Hal ini menyiratkan bahwa dalam hidup dan kehidupan seseorang dituntut untuk banyak melakukan kebaikan. Sebab sembilan puluh sembilan kebaikan yang dilakukan tidak akan berguna jika kemudian ada satu keburukan. Apalagi, seseorang yang mau menjadi calon pemimpin. Terlepas dari manusia tidak ada yang sempurna.
5.      Kecurangan dalam Pemilu
Dunia politik Tanah Air membuat banyak orang (calon pemimpinnya) menggunakan segala cara apapun agar bisa menang. Termasuk memalsukan suara. Seperti terdapat pada novel “Temui Aku di Surga” di mana digambarkan tokoh “Pak Thamrin” melakukan kecurangan, seperti tergambar pada data berikut:
Perkara kejahatan yang telah direncakan dan dilakukan oleh Pak Thamrin diusut oleh pihak kepolisian. Hari itu juga, Paijo dan Patkur diciduk, dan diinterogasi di kepolisian. Tentu saja mereka tak kuasa mengelak tuduhan! Karena ada Solikin yang telah lebih dulu memberi kesaksian.
Dari penyedikan yang dilakukan dengan saksama dan serius akhirnya terkuak bahwa Pak Thamrin telah menyuruh seseorang, dalam hal ini Solikin, untuk memberikan sejumlah uang kepada dua orang oknum panitia pemilihan untuk mengupayakan agar hasil penghitungan suara dimenangkan olehnya. Paijo dan Patkur mengakui hal tersebut. (Temui Aku di Surga: 251)

Selain dalam dunia novel, kecurangan dalam pemilu juga terdapat dalam kehidupan dunia nyata. Seperti digambarkan pada pemilihan gubernur di Jawa Timur berikut:
Tim kuasa hukum pasangan calon gubernur-wakil gubernur Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa-Mudjiono, mengadukan Komisi Pemilihan Umum Jawa Timur ke Mahkamah Konstitusi (MK). Mereka menilai KPU Jawa Timur tidak mematuhi keputusan Mahkamah tentang penghitungan ulang pada Pilkada Jatim.
"Kita anggap KPU Jawa Timur tetap curang dan menghambat transparansi," kata Andi M. Asrun, salah satu kuasa hukum Khofifah, di gedung mahkamah Konstitusi, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta, Selasa 6 Januari 2009.
Menurutnya, telah terjadi kecurangan dalam proses penghitungan ulang di kabupaten Pamekasan. Dalam penghitungan tersebut, KPU tidak memberikan formulir C1 dan tidak memasang Daftar Pemilih Tetap (DPT) saat penghitungan.
Menurutnya hal ini sangat penting untuk mengetahui berapa surat surat suara yang sah, yang tidak sah, yang rusak, maupun yang tidak terpakai. "Kami sudah melakukan protes atas kecurangan-kecurangan itu, tapi tidak ditanggapi KPU," kata Asrun. (Vivanews.com, Jakarta: Selasa, 6 Januari 2009)
            Tindakan kecurangan dalam pemilu itu ada berbagai macam, seperti pada novel Temui Aku di Surga yakni penggelembungan suara di mana,  Paijo dan Patkur mengakui jika telah mempersiapkan kartu pilihan palsu yang telah dilubangi pada gambar Pak Thamrin. Sementara itu, pada kasus yang dikutip di atas terdapat kecurangan dalam proses penghitungan ulang di Kabupaten Pameksaan. Di mana, dalam proses penghitungan tersebut, KPU tidak memberikan formulir C1 dan tidak memasang Daftar Pemilih Tetap (DPT) saat penghitungan.
            Berdasar lima data di atas dapat diketahui bahwa novel “Temui Aku di Surga” dianggap sebagai refleksi atau cermin realitas. Hal ini dikarenakan, terdapat beberapa kejadian atau adegan dalam novel yang menggambarkan skema hubungan antara karya sastra dengan realitas. Seperti realitas sosial, budaya, dan politik. Pendekatan mimesis sendiri cenderung membandingkan realitas karya sastra kepada realitas faktual (rill), sehingga hakikat karya sastra yang fiktif imajiner sering dilupakan.  Melalui pendekatan mimesis inilah novel “Temui Aku di Surga” ini dijadikan fondasi sebelum melakukan tindakan kritik.
Penutup
Dunia kesastraan ternyata memiliki bentuk karya sastra yang mendasarkan diri pada fakta. Hal ini tergambar pada novel “Temui Aku di Surga” karya Ella Sofa yang memiliki peniruan atas kejadian-kejadian yang terjadi di dunia nyata. Seperti: kehidupan remaja yang suka nge-geng, sistem politik Indonesia yang lebih didominasi money politic, kecurangan di bidang politik yang dilakukan oleh beberapa oknum, hingga kepercayaan masyarakat akan dukun.
Namun, sekalipun novel ini memiliki peniruan atas kejadian-kejadian yang terjadi di dunia nyata, tidak mutlak sama dengan kejadian-kejadian di dunia nyata. Hal ini dikarenakan dunia empiris tidak dapat mewakili kenyataan yang sungguh-sungguh. Kenyataan yang ada hanya bisa didekati oleh peniruan-peniruan (mimesis).
  Selain itu, hal tersebut sesuai dengan pandangan Aristoteles, seniman tidak meniru kenyataan dan mementaskan manusia sebagaimana adanya. Seniman justru menciptakan dunianya sendiri dari segala kemungkinan yang diberikan oleh dunia nyata sehingga dapat mencerahkan segi-segi dunia nyata tertentu. Berdasarkan pendapatnya tersebut, Aristoteles menempatkan seniman pada posisi yang lebih tinggi daripada tukang (pengrajin) sebab dalam karya seorang seniman pandangan, vision, dan penafsirannya terhadap kenyataanlah yang lebih dominan.
Pada novel ini peniruan-peniruan yang terjadi erat kaitannya dengan unsur instrinsik yang membangun suatu karya sastra terlebih unsur latar dan pelataran, tokoh dan penokohan, serta plot dan pemplotan.
Daftar Rujukan
Hardjana, Andre. 1981. Kritik Sastra Sebuah Pengantar. Jakarta: Penerbit PT. Gramedia.
Indosiar.com. Rekaman CCTV Kebrutalan Geng Motor. [Serial Online] http://www.indosiar.com/patroli/rekaman-cctv-kebrutalan-geng_motor_94437.html [Kamis, 12.04.2012].
Nurgiantoro, Burhan. 2000. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Universitas Gadjah Madjah Press.
Peristiwa.com. 2013. Rizal Ramli: Pilgub Jatim Kembali Dicederai Politik Uang. [Serial Online] http://www.peristiwa.co/rizal-ramli-pilgub-jatim-kembali-dicederai-politik-uang.html [July 24, 2013 ]
RMOL.com. Pezina Dilarang Ramaikan Pilkada. [Serial Online] http://rmol.news.co.id/news/read/19872/pezina_dilaranga_ramaikan_pilkada. [19 April 2010].
Selebtempo.com. Ayu Azhari Gagal Jadi Calon Wakil Bupati Sukabumi. [Serial Online] http://seleb.tempo.co/read/news/2010/02/26/125228560/ayu-azhari-gagal-jadi-calon-wakil-bupati-sukabumi.[26 FEBRUARI 2010].
Sofa, Ella. 2013. Temui Aku di Surga. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo
Teeuw. 1988. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta: PT. Girimukti Pasaka.
Tribunnews.com. Politik Magis. http://pontianak.tribunnews.com/2015/10/01/politik-magis Politik Magis. [1 Oktober 2015].
Vivanews.com. Kita anggap KPU Jawa Timur Tetap Curang dan Menghambat Transparansi. [Serial Online] http://nasional.news.viva.co.id/news/read/19872/khofifah_adukan_kpu_jawa_timur_curang [6 Januari 2009].


KRITIK SASTRA MIMESIS DALAM NOVEL “TEMUI AKU DI SURGA” KARYA ELLA SOFA KRITIK SASTRA MIMESIS DALAM NOVEL “TEMUI AKU DI SURGA” KARYA ELLA SOFA Reviewed by Dunia Trisno on 8:41:00 AM Rating: 5

No comments:

Powered by Blogger.