KRITIK
SASTRA MIMESIS DALAM NOVEL “TEMUI AKU DI SURGA” KARYA ELLA SOFA
Sutrisno
Gustiraja Alfarizi
Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
FKIP Universitas Jember
Abstrak: Pendekatan
mimetis berupaya memahami hubungan karya sastra dengan realitas atau kenyataan.
Plato dan Aristoteles merupakan tokoh pencetus pendekatan yang menitikberatkan
kajiannya terhadap hubungan karya sastra dengan kenyataan di luar karya. Hal
ini bisa dilihat dari realitas sosial, budaya, dan potik. Pembahasan ini
mendeskripsikan struktur instrinsik sebagai langkah awal membangun teori kritik
sastra mimesis pada novel Temui Aku di Surga, sekaligus menjadikan referensi
dalam penggambilan data.
Kata kunci:
Temui Aku di Surga, mimesis, realitas, struktur instrinsik.
Pendahuluan
Karya sastra merupakan
kesusastraan, karya tulis, yang jika dibandingkan dengan tulisan lain memiliki
berbagai ciri keunggulan, seperti keaslian, keartistikan, keindahan dalam isi
dan ungkapannya, drama, epik, dan lirik. Karya sastra tidak hadir begitu saja.
Terdapat serangkaian proses dalam penulisan kreatifnya. Di mana ada pergulatan
jiwa yang dialami sastra sebagai seorang yang memiliki daya imajinatif.
Walaupun, begitu tidak selamanya sastra bersifat imajinatif, mengingat karya
sastra mengandung nilai-nilai tertentu yang ada di masyakarat.
Karya sastra yang baik
akan menjadi cermin masyarakat yang terdapat dalam karya tersebut. Sehingga
dengan menikmati karya yang demikian akan tumbuh sebuah pikiran bahwa
masyarakat yang ada digambarkan dalam karya tersebut tidak jauh berbeda.
Novel sebagai salah
satu ragam karya sastra menyuguhkan kisah-kisah menarik, bahkan di dalam
perkembangannya terdapat beberapa novel yang merupakan tiruan (mimesis) dari
kisah nyata. Hal tersebutlah yang mendorong pemilihan novel “Temui Aku” di
Surga karya Ella Sofa dalam tinjauan kritik sastra mimesis.
Novel ini mengisahkan
tentang persahabatan Yudho dan Malik. Di mana jalinan persahabatan mereka
begitu kuat seperti saudara. Sayangnya, maut memisahkan keduanya. Malik
meninggal dunia akibat suatu masalah di masa lalu. Yudho sebagai teman dekat
Malik, digambarkan menjadi simbol pencapaian cita-cita Malik yakni menjadi petinggi di Desa Randuasri. Namun,
dalam proses pencalonannya Yudho mengalami banyak hambatan seperti ia tidak
memiliki modal yang cukup banyak dan ancaman dari pihak lawan atau Pak Thamrin,
bahkan lawan politik Yudho menggunakan cara kotor agar bisa menang seperti
pergi ke dukun, melakukan ancaman kepada para calon pemilih, sampai memalsukan
suara. Alhasil, Yudho mengalami kekalahan. Di tengah-tengah proses konflik
hebat itulah. Muncul pengakuan mengejutkan dari Solikin bahwasanya pihak Pak
Thamrin telah melakukan pelanggaran pemilihan petinggi dan juga misteri kematian Malik.
Pemilihan novel “Temui Aku di Surga” karya Ella Sofa
ini didasarkan pertimbangan-pertimbangan berikut. Pertama, keunikan tema dalam
novel ini yang mengisahkan tentang sistem politik tingkat bawah di Indonesia
yakni politik di desa. Kedua, novel “Temui Aku di Surga” ini mengungkapkan
fenomena-fenomena yang terdapat dalam masyarakat Indonesia seperti percaya akan
kekuatan dukun atau mistis. Selain itu terdapat beberapa kejadian dalam novel
ini yang mencerminkan tiruan kehidupan nyata (mimesis).
Berdasar hal tersebutlah,
kritik sastra terhadap novel ini dibutuhkan dengan pendekatan struktur
instrinsik dan penyikapan sebagai tiruan (mimesis).
Penulisan artikel ini
bertujuan memberikan (1) wawasan mengenai struktur instrinsik novel “Temui Aku
di Surga” karya Ella Sofa dan (2) gambaran
tentang aspek tiruan (mimesis) dalam novel “Temui Aku di Surga” karya Ella
Sofa.
Hakikat
Fiksi
Nurgiantoro (2000:3)
mengemukakan bahwa fiksi menceritakan berbagai masalah kehidupan manusia dalam
interaksinya dengan lingkungan dan sesama interaksinya dengan diri sendiri,
serta interaksinya dengan Tuhan. Fiksi merupakan hasil dialog, kontemplasi, dan
reaksi pengarang terhadap lingkungan dan kehidupan. Walau berupa khayalan,
tidak benar jika fiksi dianggap sebagai hasil kerja lamunan belaka, melainkan
penghayatan dan perenungan secara intens,
perenungan terhadap hakikat hidup dan kehidupan, perenungan yang dilakukan
dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab.
Dunia
kesastraan ternyata memiliki bentuk karya sastra yang mendasarkan diri pada
fakta. Menurut Abrams (dalam Nurgiantoro, 2000:5) karya tersebut bisa
dikategorikan sebagai fiksi historis (historical
fiction), jika yang menjadi dasar penulisan fakta sejarah, fiksi biografi (biographical fiction), jika yang
menjadi dasar penulisan fakta biografis, fiksi sains (science fiction), jika yang menjadi dasar penulisan fakta ilmu
pengetahuan. Ketiga jenis karya fiksi tersebut dikenal dengan sebutan fiksi
nonfiksi (nonfiction fiction).
Walaupun
begitu, kebenaran yang terjadi dalam dunia fiksi berbeda dengan kebenaran di
dunia nyata. Kebenaran dalam dunia fiksi adalah kebenaran yang sesuai dengan
keyakinan pengarang, kebenaran yang telah diyakini “keabsahannya” sesuai dengan
pandangannya terhadap masalah hidup dan kehidupan.
Struktur
Instrinsik
Struktur intrinsik adalah unsur-unsur yang membentuk
karya sastra seperti penokohan atau perwatakan, tema, alur (plot), pusat
pengisahan (sudut pandang), latar, dan gaya bahasa. Unsur intrinsik yang
dibahas dalam artikel ini adalah latar, tokoh dan penokohan, serta plot dan
pemplotan. Hal tersebut dikarenakan
ketiga unsur tersebut adalah yang paling kuat dan berpengaruh dalam
keseluruhan isi novel “Temui Aku di Surga”.
1. Latar
Latar
atau setting merupakan landas tumpu, menyaran pada pengertian tempat, hubungan
waktu, dan lingkungan sisuak tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang
diceritakan (Abrams dalam Nurgiantoro, 2000: 216).
Nurgiantoro
(2000:227) mengemukakan jika terdapat tiga unsur latar, yaitu tempat, waktu,
dan sosial.
2.
Tokoh
dan Penokohan
Tokoh
memiliki peranan yang penting dalam mengungkapkan keseluruhan ide cerita dan
peristiwa. Tokoh adalah pengemban peristiwa dalam cerita fiksi sehingga
peristiwa itu mampu menjalin suatu cerita. Menurut Nurgiantoro (2000:165)
istilah tokoh merujuk pada orangnya, pelaku cerita. Sedangkan, penokohan
menunjuk pada watak-watak tokoh dalam suatu cerita atau bisa juga disebut
sebagai pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam
sebuah cerita.
Nurgiyantoro
(2000: 176—194) membedakan tokoh berdasarkan tokoh utama dan tokoh tambahan,
tokoh protagonis dan tokoh antagonis, tokoh sederhana dan tokoh bulat, tokoh
statis dan tokoh berkembang, serta tokoh tipikal dan tokoh netral. Penamaan
yang dilakukan oleh Nurgiyantoro cenderung bersifat sejajar.
3. Plot dan Pemplotan
Nurgiyantoro
(2000: 94) mengatakan bahwa objek dari sebuah cerita rekaan adalah peristiwa. Nurgiyantoro
juga menjelaskan bahwa ada perbedaan yang jelas terlihat antara cerita dan
plot. Cerita sekadar mempertanyakan apa atau bagaimana kelanjutan peristiwa,
sedangkan plot lebih menekankan permasalahan pada hubungan kausalitas,
kelogisan hubungan antarperistiwa yang dikisahkan dalam karya naratif yang
bersangkutan. Dari kedua pengertian di atas, ada pergantian penyebutan antara
alur dengan plot. Namun, Nurgiyantoro (1995:111) menyebutkan bahwa alur dengan
plot pada dasarnya memiliki makna yang sama sehingga dalam pembahasan ini tidak
membedakan pengertian antara alur dan plot.
Secara
umum cerita rekaan terdiri atas peristiwa yang terjadi di bagian awal, tengah,
dan akhir. Nurgiyantoro (2000: 153—163) didasarkan pada tinjauan dari kriteria
urutan waktu, jumlah, dan kepadatan. Pada kriteria urutan waktu, terdapat dua
kategori, yaitu kronologis dan tidak kronologis. Berdasarkan kriteria
jumlahnya, plot terdiri atas plot tunggal dan plot bawahan. Berdasarkan
penahapannya, plot terdiri atas tahapan plot: awal-tengah-akhir dan tahapan
plot rincian lain.
Kritik
Sastra
Hardjana (1981:1) menjelaskan bahwa kegiatan kritik
sastra pertama kali di dunia dilancarkan oleh seorang Yunani bernama Xenophones
dan Heraclitus sekitar tahun 500 sebelum Masehi.
Istilah kritik sendiri
berasal dari kata krites, yang oleh orang-orang Yunani kuno
dipergunakan untuk menyebut hakim. Krites berasal dari kata kerja
krinein yang berarti menghakimi, juga merupakan pangkal dari kata
benda kriterion yang berarti dasar penghakiman.
Berdasar hal tersebut
dapat diketahui bahwa kritik sastra merupakan sumbangan yang dapat diberikan
oleh para peneliti sastra bagi perkembangan dan pembinaan sastra. Hal ini
berkaitan dengan hasil usaha pembaca dalam mencari dan menentukan nilai hakiki
karya sastra lewat pemahaman dan penafsiran sistematik yang dinyatakan dalam
bentuk tertulis.
Tokoh
Pencetus Kritik Sastra Mimesis
Teeuw (1988: 219) mengemukakan bahwa pengertian
mimesis pertama kali dinyatakan oleh filsuf Yunani, yaitu Plato dan juga
muridnya Aristoteles yang sekaligus menjadi lawannya dalam pemikiran ini pada
2.000 tahun silam. Plato secara panjang lebar telah menguraikan keterkaitan
antara puisi dan alam semesta, terutama dalam hubungannya dengan kenyataan. Terdapat, beberapa tataran tentang Ada
(different planes of being). Tiap-tiap tataran itu mencoba
melahirkan nilai-nilai yang mengatasi tatarannya. Bagi Plato, mimesis terikat
pada ide pendekatan, tidak menghasilkan peniruan yang sesungguhnya, tetapi
hanya menghasilkan pencerminan atau peniruannya sehingga lewat mimesis tataran
yang lebih tinggi hanya dapat disarankan. Seni hanya dapat meniru dan
membayangkan hal-hal yang ada dalam kenyataan yang tampak.
Menurut Plato
(dalam Teeuw, 1988:220) seni memiliki
dua segi, yaitu dalam wujud nyata seni adalah benda yang sangat rendah
nilainya, namun dalam wujud lainnya seni adalah hal yang memiliki hubungan
secara tidak langsung dengan sifat hakiki benda-benda. Seni yang terbaik lewat
mimesis adalah peneladanan kenyataan mengungkapkan makna hakiki kenyataan itu.
Dengan demikian, seni yang baik harus benar, dan seniman harus bersifat rendah
hati dan harus tahu bahwa dia mendekati yang ideal dari jauh dan serba salah.
Hal inilah yang menempatkan kepandaian tukang
(pengrajin) lebih tinggi daripada seniman, sebab tukang (pengrajin) lebih efisien dalam menirukan
ide-ide yang mutlak dari benda-benda yang dihasilkannya. Seniman dianggapnya
tidak terlalu menggunakan rasio dan nalar manusia, melainkan lebih mengedepankan
nafsu-nafsu dan emosinya sehingga seni dapat menimbulkan nafsu. Manusia yang
memiliki rasio justru harus merendahkan nafsunya.
Berdasar pendapat Plato dapat disimpulkan bahwa seni
yang baik adalah seni yang menyerupai bentuk asli dari benda yang ditirunya.
Pendapat Plato mengenai seni dan mimesis ditentang
oleh Aristoteles. Menurut Aristoteles (dalam Teeuw, 1988:222) seniman tidak
meniru kenyataan dan mementaskan manusia sebagaimana adanya. Seniman justru
menciptakan dunianya sendiri dari segala kemungkinan yang diberikan oleh dunia
nyata sehingga dapat mencerahkan segi-segi dunia nyata tertentu. Berdasarkan
pendapat tersebut, Aristoteles menempatkan seniman pada posisi yang lebih
tinggi daripada tukang (pengrajin) sebab dalam karya seorang seniman pandangan,
vision, dan penafsirannya terhadap kenyataanlah yang lebih dominan.
Selain itu, seorang seniman juga memiliki kepandaian untuk menginterpretasikan
dan memberikan makna kepada eksistensi manusia. Karya seni dianggapnya sebagai
sarana pengetahuan yang khas dalam memahami tahapan situasi manusia yang tidak
dapat dijabarkan dengan jalan lain.
Berdasar dua pendapat pencetus teori kritik sastra
mimesis dapat disimpulkan bahwa kaitan antara kenyataan dan rekaan dalam karya
sastra dianggap penting. Hal ini dikarenakan keduanya tidak dapat dipisahkan
dan saling membutuhkan satu dengan yang lainnya. Hal tersebut dapat disimpulkan
jika suatu karya sastra (rekaan) pastilah berasal dari sebuah kenyataan di
lapangan.
Kritik sastra mimesis diperkenalkan oleh Plato dan
Aristoteles. Menurut mereka, pada hakikatnya segala seni merupakan tiruan dari
semesta. Verdenius (dalam oleh Teeuw, 1988:220) menyatakan bahwa yang nyata
secara mutlak hanya yang baik dan derajat kenyataan semesta bergantung pada
derajat kedekatannya terhadap Ada
yang abadi. Dunia empiris tidak dapat mewakili kenyataan yang sungguh-sungguh.
Kenyataan yang ada hanya bisa didekati oleh peniruan-peniruan (mimesis).
Struktur Instrinsik Novel “Temui
Aku di Surga”
Latar
Menurut Nurgiantoro latar memberikan pijakan cerita
secara konkret dan jelas. Hal ini penting untuk memberikan kesan realistis
kepada pembaca, menciptakan suasana tertentu yang seolah-olah sungguh ada dan
terjadi.
Unsur latar dapat dibedakan ke dalam
tiga unsur pokok, yaitu tempat, waktu, dan sosial.
1.
Latar Tempat
Latar tempat menyaran pada lokasi
terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Unsur tempat
yang dipergunakan mungkin berupa tempat-tempat dengan nama tertentu, insial
tertentu, mungkin lokasi tertentu tanpa nama jelas.
Penggunaan latar tempat dalam novel
“Temui Aku di Surga” menggunakan unsur tempat berupa tempat-tempat dengan nama
tertentu. Adapun latar tempatnya di gambarkan pada kutipan berikut:
1. Jepara
Malik menghentikan sepeda motor tepat di
depan markas geng Topanx. Geng yang telah diikutinya sekitar dua tahun lalu itu
adalah perkumpulan anak muda yang cukup punya nama di Jepara. (Temui Aku di
Surga: 1)
Dua Minggu sejak masuk di RS. RA.
Kartini, Malik sudah kembali di rumah. (Temui Aku di Surga:7)
...Nama desa itu Randuasri. Terletak di
wilayah Kecamatan Kalinyamatan, Kabupaten Jepara. (Temui Aku di Surga: 11)
Ia mencari sumber suara di antara
banyaknya manusia yang lalu-lalang di halaman depan kampus STIENU Jepara. (Temui
Aku di Surga: 269)
Pada empat kutipan di atas menunjukkan
jika latar tempat novel “Temui Aku di Surga” adalah Jepara. Hal ini
dikarenakan, Jepara merupakan latar yang paling dominan dalam novel. Seperti
kutipan pertama yang menjelaskan Geng Topanx yang cukup memiliki nama di Jepara.
Kutipan kedua dan keempat menunjukkan suatu lokasi atau tempat yang terdapat di
Jepara yakni RS. RA Kartini dan kampus STIENU. Sementara, kutipan ketiga yang menjelaskan situasi desa yang masih asri
bernama Randuasri, Kecamatan Kalinyamatan, Kabupaten Jepara.
2. Pesantren
Tremas atau Attarmasy di Pacitan
Hampir
tiga tahun ini Malik tinggal dan menjalani kehidupan yang tenang di Pesantren
Tremas atau Attarmasy di daerah Pacitan. (Temui Aku di Surga: 29)
Pondok
Pesantren Tremas atau Attarmasy di daerah Pacitan menjadi latar tempat di
beberapa bab awal novel “Temui Aku di Surga” seperti yang terdapat pada kedua
data kutipan di atas. Di mana, data pertama menunjukkan waktu hampir tiga tahun
Malik dan menjalani kehidupan di pondok pesantren tersebut.
3. Surabaya
“Whoooi!
Iya, maaf aku belum ngasih kabar. Maaf Bos, ndak
masuk beberapa hari deh kayaknya. Aku ke Surabaya....!” Malik segera memberi
kabar. (Temui Aku di Surga: 118)
Pada kutipan di atas menjelaskan tentang
keberadaan Malik yang sedang menuju Surabaya. Latar Surabaya kemudian
dipertegas pada kutipan berikut:
Empat
hari tinggal di Griya Kebonagung, rumah kakaknya, dirasa cukup bagi Malik untuk
membasuh kekalutan dalam pikran dan hatinya. (Temui Aku di Surga: 123)
4. Kudus
“Sementara
itu di pondok pesantren Arwaniyah, Kudus. Hesti telah aktif menghafal kembali.
Ia telah melewati masa-masa terberat!”
(Temui
Aku di Surga: 201)
Kutipan
di atas menjelaskan keberadan Hesti di pondoknya yang bernama pondok pesantren
Arwaniyah di daerah Kudus, dalam novel ini Hesti digambarkan sebagai seorang hafidzah (penghafal Al-Quran bagi
perempuan).
2.
Latar Waktu
Latar
waktu berhubungan dengan masalah “kapan” terjadinya peristiwa-peristiwa yang
diceritakan dalam sebuah karya fiksi.
Masalah
waktu dalam novel “Temui Aku di Surga” menunjuk pada waktu dan urutan waktu
yang terjadi dan dikisahkan dalam cerita. Kejelasan waktu yang diceritakan amat
penting dilihat dari segi waktu dan penceritaannya.
Pada
novel “Temui Aku di Surga”, waktu digambarkan dengan berurutan. Hal tersebut
merujuk pada kejadian yang terjadi di tahun 2000.
a. Sekitar
2009 atau 2010
Tahun demi tahun berganti. Pekerjaan demi
pekerjaan telah dilakoni oleh Yudho. Tak mudah menemukan pekerjaan yang
menjanjikan bagi masa depan. Namun Yudho
tak menyerah! Tahun demi tahun ia lakoni dengan mencoba beberapa jenis
pekerjaan. (Temui Aku di Surga: 13)
Pada kutipan selanjutnya, digambarkan
jika Yudho mendapat penawaran bekerja dengan Solikin.
Yudho
belum sepenuhnya paham apa yang dimaksud dengan bisnis kaca, apakah berjualan
kaca? Berjualan di mana? Apa Solikin punya toko kaca? Berbagai pertantanyaan
singgah di otak polosnya. (Temui Aku di Surga: 17)
Tak
terasa, Yudho telah dua tahun menyibukkan diri di dunia kaca! (Temui Aku di
Surga: 19)
Berdasar kutipan di atas, menujukkan
jika latar waktu sekitar tahun 2009 atau 2010 ini merujuk pada persahabatan
Yudho dan Malik yang berkenalan pada tahun 2012. Sementara, Yudho bekerja pada
Solikin telah dua tahun setelah bertemu dengan Malik.
b. 2012
12
Juni 2012
Sepucuk surat
telah kukirim untuk dia, Ya Allah. Maafkanlah aku. (Temui Aku di Surga: 90)
13 Juli 2012
Bagaimana kabar
Mas Malik hari ini, YA Allah? Walau hati kami saling terpaut, namun aku tak pernah
melihatnya secara langsung sejak pertemuan di pasar bersama Ibu. (Temui Aku di
Surga: 93)
13 Desember 2012
Jika disuruh
memilih, aku ingin memilih Mas Malik, juga hafalanku. Tapi memilih keduanya tak
semudah itu bagiku.(Temui Aku di Surga: 99)
Pada
kutipan di atas menunjukkan tulisan Hesti dalam suratnya kepada Malik, juga
keresahaannya yang dialami selama beberapa bulan setelah mengetahui jika Malik
memiliki rasa padanya.
c. 2013
Yudho,
03 Januari 2013
Kehidupan
...
Makin
kujalani, makin berwarna
Yang
datang, yang hilang, yang pergi ...
Yang
sedih, yang perih, yang luka....(Temui Aku di Surga: 160)
Pada
kutipan tersebut menunjukan situasi Yudho yang sedang menulis catatan
pribadinya tertanggal 3 Januari 2013.
Pada
tahun 2013 juga terjadi serangkaian masalah-masalah dalam novel, seperti tokoh
Yudho yang baru mendaftar menjadi calon petinggi. Hal ini digambarkan pada
kutipan berikut:
Selamat
Datang pada
Pemilihan kepala Desa Randuasri
04
Agustus 2013
Semoga
Pilihan Anda Tepat (Temui Aku di Surga: 195)
Kutipan
di atas menunjukan adanya peristiwa pemilihan kepala desa Randuasri di mana
Yudho merupakan lawan politik dari Pak Thamrin-petinggi petahanan.
3.
Latar Sosial
Latar sosial
menyaran pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat
yang diceritakan dalam karya fiksi.
Pada novel
“Temui Aku di Surga” latar sosial digambarkan tata cara kehidupan sosial
masyarakat mencakup berbagai masalah dalam lingkup yang cukup kompleks berupa
kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara
berpikir dan bersikap, dan lain-lain yang tergolong latar spiritual.
Seperti digambarkan pada kutipan
berikut:
Yudho
tak ingin berprasangka buruk. Tapi sebagian besar para sabetan melapor, ada
indikasi tak baik dari pihak lawan. Mereka bermain curang!
“Mereka
ke dukun.” kata seorang sabetan bernama Salim yang kebetulan berpapasan saat ia
berkeliling desa. (Temui Aku di Surga: 176)
Pada kutipan di
atas, digambarkan pihak lawan politik Yudho yang tak lain adalah Pak Thamrin
melakukan tindakan percaya dengan dukun. Dukun atau orang pintar di novel
tersebut dijadikan kebiasaan hidup tokoh Pak Thamrin.Seperti diungkap dalam
kutipan berikut.
Thamrin
merasa mendapat lawan yang sedikit bandel! Tapi ia yakin dengan jas Ontokusomo dan keris saktinya. (Temui
Aku di Surga: 194)
Tokoh Pak Thamrin berbanding terbalik
dengan Yudho, hal ini dikarenakan Yudho memiliki pandangan hidup yang tidak
percaya dengan kekuatan dari dukun. Caranya bersikap menunjukkan kedekatannya dengan
Tuhan. Seperti digambarkan pada kutipan berikut:
“....Para
pendukungku sedang gelisah, apakah aku harus gelisah juga Tuhan? Untuk
menenangkan mereka, maka satu-satunya tempatku mencari kekuatan dan bersandar
adalah Kau, ya Allah ...” (Temui Aku di Surga: 178).
Tokoh
dan Penokohan
Tokoh memiliki peranan yang penting
dalam mengungkapkan keseluruhan ide cerita dan peristiwa. Tokoh adalah
pengemban peristiwa dalam cerita fiksi sehingga peristiwa itu mampu menjalin
suatu cerita.
Pembagian tokoh di dalam novel ini cukup jelas. Ada
tokoh “Yudho”yang menjadi tokoh sentral di dalam cerita. Tokoh “Yudho” pun
menjadi pusat dari segala penceritaan yang terdapat di dalam novel ini. Rangkaian
peristiwa yang terdapat di dalam novel ini hampir keseluruhannya dialami oleh
tokoh “Yudho” dan keterlibatannya dengan tokoh-tokoh lain.
Terdapat satu orang tokoh yang dianggap sebagai
tokoh antagonis karena pemikiran-pemikirannya dianggap sering bertentangan
dengan pemikiran dari tokoh-tokoh lainnya di dalam cerita, yakni tokoh “Pak
Thamrin”.
Selain itu, ada pula tokoh-tokoh tambahan yang turut
berlakuan di dalamnya. Pada pembahasan artikel ini, dibatasi pemaparan yang
dianggap berkontribusi banyak dalam keseluruhan jalan cerita, yaitu Malik,
Hesti, dan Solikin. Walaupun masih banyak tokoh lainnya yang juga berlakuan di
dalam masing-masing bagian, tetapi tidak semua tokoh tersebut mengambil peranan
penting. Tokoh-tokoh tersebut hanya disajikan untuk melengkapi latar yang ada
pada cerita dan tokoh yang seperti itu disebut sebagai tokoh lataran.
1.
Analisis Tokoh Utama pada Novel “Temui Aku di
Surga”
Tokoh “Yudho” digambarkan pengarang melalui
pemikiran-pemikirannya dan juga melalui lakuan yang sering dilakukannya. Tokoh
“Yudho” sebagai tokoh sentral juga berhubungan dengan tokoh-tokoh lainnya di
dalam cerita. Penggambaran dilakukan melalui sudut pandang orang ketiga. Pengarang cukup banyak menggambarkan tokoh
“Yudho”. “Yudho” digambarkan sebagai seorang pemuda yang memiliki pemikiran
kritis, pekerja keras, dan pemberani.
Sebenarnya ia
heran, dari dulu jalan-jalan di desanya selalu begini! Entah sudah berapa kali
diaspal ulang. Tapi hampir setiap tahun mengalami kerusakan-kerusakan. Kerusakan
jalan-jalan aspal selalu parah! Berbahaya jika musim hujan tiba. Yudho pikir
ini pasti karena kualitas aspal yang tidak bagus. (Temui Aku di Surga: 20-21)
Pada kutipan di atas digambarkan tokoh “Yudho” yang
memiliki pemikiran kritis mengingat ia bisa membuat kesimpulan jika jalan asal
selalu rusak, padahal setiap tahun diaspal ulang, hal ini dikarenakan kualitas
aspal yang tidak bagus.
Hari itu Yudho
mengerjakan dua pesanan dan mengantarkan satu pesanan lagi. Pukul setengah
empat sore ia telah tiba di kios lagi. (Temui Aku di Surga: 26)
Pada kutipan di atas digambarkan kegiatan pekerjaan
tokoh “Yudho”, hal tersebut menunjukan jika “Yudho” merupakan seorang pekerja
keras.
KRIEKK! Suara pintu berderit saat Yudho
memberanikan diri memasuki sebuah ruangan di kantor desa untuk menemui
seseorang. Yudho kalem namun berusaha
tegas. Seakan tak peduli bahwa ia sedang berhadapan dengan orang yang paling
disegani warga Randuasri. (Temui Aku di
Surga: 184)
Pada kutipan di atas digambarkan tokoh “Yudho” yang
sedang menemui tokoh “Pak Thamrin” hal tersebut guna membicarakan kabar tentang
kecurangan yang dilakukan oleh petinggi
petahanan itu. Hal tersebut dipertegas dengan kutipan berikut.
Darah Yudho
berdesir, hawa merinding menjalari seluruh permukaan kulitnya membayangkan satu
demi satu anggota keluarganya. Bapak, Emak, kakak-kakak, serta adik-adiknya.
Walaupun mungkin tidak semua, atau bahkan hanya salah satu, namun ia tak rela
jika di antara mereka menjadi korban dalam pencalonan ini...” (Temui Aku di
Surga: 189)
Selain tokoh “Yudho” ada tokoh “Pak Thamrin” juga
termasuk tokoh utama dalam novel ini. Perbedaanya sifat dan watak “Pak Thamrin”
yang antagonis memiliki sifat licik. Hal ini bisa digambarkan pada kutipan
berikut:
“Begini Dik ya,
ini pembicaraan antara kita berdua saja. Bagaimanapun Dik, kelompok abangan memang ada, dan Dik Yudho tahu
sendiri beberapa kejadian yang menimpa sebagian warga. Katakanlah mereka
bernasib kurang mujur saat itu. Dan ... kemungkinan itu terjadi juga ndak bisa
kita pungkiri. Bergantung...!” Pak Thamrin tak meneruskan kalimatnya. Ia
berhenti sambil mengangkat kedua pundaknya. (Temui Aku di Surga: 187-188)
“Dik Yudho tahu
yang terbaik seperti apa. Kalau mau pilih aman, ada jalan yang paling aman.
Jagan halangi jalan saya, maka Dik Yudho seratus persen aman!” Pak Thamrin
menyeringai licik.(Temui Aku di Surga: 190)
Pada dua kutipan di atas menunjukkan kelicikan yang
dilakukan tokoh “Thamrin” untuk menjadi petinggi
kembali ia menggunakan banyak cara, bahkan smpai mengancam orang-orang yang
bisa menjadi penghalang dalam pemilihan kepala desa termasuk Yudho dan
keluarganya.
“Keterangan yang
diberikan Solikin, Paijo, dan Patkur dirasa sangat cukup bagi polisi untuk
menangkap Pak Thamin.” (Temui Aku di Surga: 259-260)
Kutipan di atas menunjukkan akhir dari kelicikan
yang dilakukan tokoh “Pak Thamrin” yang ditangkap oleh polisi.
2.
Analisis Tokoh Tambahan dalam Novel “Temui Aku
di Surga”
Tokoh “Malik” dalam novel ini digambarkan sebagai
sahabat “Yudho” di mana, setiap kegelisahan dan masalah yang membalut tokoh ini
diceritakan pada “Yudho.” Seperti tergambar pada kutipan berikut.
“Aku ingin
menjadi kepala desa ...”
“Jadi petinggi?” Yudho mengernyitkan dahinya.
Petinggi adalah istilah untuk kepala desa di tempat mereka. (Temui Aku di
Surga”: 76)
Pada kutipan
lain dijelaskan tentang cerita masa lalu tokoh “Malik”.
“Trus ... jaket
yang robek itu?” tanya Yudho makin penasaran dengan kehidupan Malik.
“Yang kena clurit?”
“Hmmh...,” Malik
menarik napas panjang, tersenyum, matanya menerawang seolah mengingat-ingat
sesuatu. Lalu tiba-tiba bibirnya bergerak memulaik isahnya. Yudho menyimak
dengan khidmatnya.” (Temui Aku di Surga: 46)
Pada kutipan tersebut terdapat dialog antara tokoh
Malik dan Yudho, di mana Malik menceritakan masa lalunya saat menjadi anggota
geng Topanx yang membuatnya pernah dipenjara, juga melalukan tawuran hingga
jaketnya robek.
Tiba-tiba Malik
menyorongkan selembar kertas yang telah kusut, sangat kusuk bahkan terdapat
robekan-robekan kecil di beberapa bagian. Yudho segera menerima kertas itu. (Temui
Aku di Surga: 109)
Kutipan
di atas menunjukan situasi di mana Malik merasa tak bersemangat sejak menerima
surat dari tokoh Hesti. Di mana dalam surat tersebut menyatakan jika lebih baik
cinta antara keduanya tak terjalin sebelum ada kehalalan dari Allah.
“Jika disuruh memilih, aku ingin memilih Mas
Malik, juga hafalanku. Tapi memilih keduanya tak semudah itu bagiku. Aku bukan
wanita luar biasa yang bisa menjalani hubungan asrama sekaligus lancar dalam
menghafal ayat-ayat suci....” (Temui Aku di Surga: 99)
Tokoh “Hesti” pada novel ini digambarkan sebagai
seorang muslimah yang sedang berusaha menghafal Al-Qur’an atau biasa disebut
sebagai hafizah. Pada kutipan
tersebut, tokoh “Hesti” mengalami kegelisahan yang dalam jiwanya. Rasa cintanya
pada tokoh “Malik” membuatnya kurang berkonsentrasi dalam menghafal ayat-Nya.
Tokoh “Solikin” dalam novel ini digambarkan sebagai
mantan bos Malik di bisnis perkacaan, perangainya pendendam dan pelit. Namun,
di suatu sisi ia memiliki sifat yang mudah bertobat atas kesalahan yang
dibuatnya.
Seperti digambarkan pada kutipan berikut:
“Jadi
memang tak pernah naik?” ulang istrinya lagi.
“Ya
memang ndak ada kenaikan ... nyari
untung ndak gampang Yuk, sayang jika
harus dikasih orang lain. Kupikit apa yang kuberi sudah banyak ...” akhirnya
keluar juga pengakuan itu. (Temui Aku di Surga:62)
Pada kutipan tersebut dijelaskan percakapan antara
tokoh “Solikin” dan “Yayuk” di mana, tokoh “Yayuk” menyimpulkan jika alasan
“Yudho” berhenti kerja salah satunya karena kurangnya gaji yang diterima.
Padahal, “Yudho” bekerja sudah dua tahun lebih.
“Iya Pak. Ee... saya, disuruh Pak Thamrin
membayar panitia acara pemilihan, untuk ... mengupayakan agar hasil pemilihan
dimenangkan beliau, gitu Pak...” (Temui Aku di Surga:240)
“Memang ... aku
sempat membenci kalian berdua. Tapi aku juga tak senekat itu, aku masih waras!
Waktu itu, aku mengetahui kalu Malik pulang dari Surabaya. Kebetulan aku sedang
lewat di belakang rumahmu. Aku mencuri dengar pembicaraan bapakmu sama Ibumu.:
“Lalu?” sahut
Yudho.
“Lalu ...
kebetulan beberapa jam setelah itu aku ditemui seseorang, suruhan Pak Thamrin.
Ia mau membayaku mahal asal mau melakukan sedikit hal pada Malik, yang akan
menjadi lawan Pak Thamrin pada pemilihan petinggi.” (Temui Aku di Surga: 242)
Pada kutipan tersebut, diceritakan pengungkapan
misteri kematian Malik, bahwasanya Pak Thamrin menyuruh Solikin untuk melakukan
suatu hal kepada Malik yang akan menjadi lawan politiknya. Namun, tokoh
“Solikin” tak memiliki keberanian untuk melakukan hal tersebut. Hal itu
kemudian diperjelas pada kutipan berikut:
“Demi Allah ...
semula memang aku niat jahat, tapi ... demi Allah aku tak jadi melakukannya!
Sepeda motor itu yang menabrak.”
“Junkpret?”
“Iya, tulisannya
Junkpret.” (Temui Aku di Surga: 243)
Plot dan Pemplotan
Pada pembahasan makalah ini dipilih
tahapan plot rincian lain. Hal ini dikarenakan tahapan plot tersebut lebih
rinci. Rincian yang dimaksud yaitu membedakan tahapan plot menjadi lima bagian.
Kelima tahapan itu adalah sebagai berikut:
1.
Tahap
Penyituasian
Tahap ini
merupakan tahap yang berisi pelukisan dan pengenalan situasi latar dan
tokoh-tokoh cerita. Penyituasian dalam novel ini diawali dengan penggambaran
tokoh “Malik” yang baru tiba di tempat geng-nya. Seperti digambarkan pada kutipan
berikut:
Malik
menghentikan sepeda motor tepat di depan markas geng Topanx. Geng yang telah
diikutinya sekitar dua tahun lalu itu adalah perkumpulan anak muda yang punya
nama di Jepara. Malik melaju ke sana tanpa helm, SIM, dan STNK. Nekat!
Gara-gara ia emosi karena tak juga dibelikan sepeda motor Kawasaki Ninja. (Temui
Aku di Surga: 1)
Penyituasian
Malik yang baru tiba di tempat geng-nya itu berlanjut hingga membuat Malik
nekat melakukan tindakan tawuran antar geng. Akibatnya, ia pun terkena tusukan celurit dan dibawa ke rumah sakit.
Sementara itu,
penggambaran atau penyituasian tokoh “Yudho” berada di bab selanjutnya. Yakni
tergambar pada kutipan berikut:
Di
antara rumah-rumah yang berjajar berselang-seling dengan pepohonan pisang itu
berdiri sebuah rumah sederhana yang dihuni oleh pasangan suami istri, Pak
Zaenuri dan Bu Zaenuri, yang jatuh bangun membesarkan anak-anaknya.
Salah
satu anak mereka bernama Yudho Marzuki, yaitu anak yang ketiga. (Temui Aku di
Surga: 11-12)
Pada
penggambaran selanjutnya, terdapat pengenalan tokoh yang nantinya akan
memunculkan konflik dalam kehidupan Yudho dan Malik.
“Assalamualaikum!” terdengat suara salam
dari halaman rumah bersamaan dengan datangnya seseorang. Seorang tetangga. Ia
bernama Solikin. Perawakannya lebih pendek dan lebar daripada tubuh Yudho,
berkulit sawo matang dengan wajah mirip Rano Karno. (Temui Aku di Surga: 15)
Pada
kutipan tersebut menjelaskan penggambaran tubuh tokoh “Solikin”. Di mana, yang
nantinya tokoh bernama Solikin itu yang nantinya memunculkan konflik dalam
kehidupan Yudho dan Malik.
2.
Tahap
Pemunculah Konflik
Pada tahap ini
masalah-masalah dan peristiwa-peristiwa mulai dimunculkan. Pemunculan konflik
dalam novel ini dimulai dengan Yudho yang berhenti bekerja pada Solikin, lalu
hubungan Malik dan Hesti yang tak sesuai dengan harapan Malik, dan Malik yang
mencalonkan diri menjadi kepala desa. Seperti digambarkan pada kutipan berikut:
“Sementara
itu, di sebuah rumah sederhana yang letaknya tak jauh dari rumah Yudho,
seseorang merasa kecewa. Ia tak menduga Yudho akan keluar kerja! Apalagi dengan
jujur mengatakan bahwa ia akan membuka usaha sendiri bersama seorang teman. Ia
merasa kebaikannya selama ini terkhianati!
“Kurang
ajar anak kemarin sore itu!” sungut lelaki yang mirip Rano Karno itu kesal. (Temui
Aku di Surga: 53)
Pada kutipan tersebut
digambarkan tokoh Yudho yang berhenti kerja kepada tokoh “Solikin” hal ini
membuat tokoh “Solikin tidak terima, sehingga mencari tahu dengan siapa tokoh
“Yudho” membuka usaha. Seperti digambarkan pada kutipan berikut:
Seperti orang
kurang kerjaan, ia berusaha memata-matai gerak-gerik Yudho. Pagi itu ia sengaja
menunggu Yudho bersama sepeda motornya lewat depan rumah. Setelah berlalu
beberapa puluh meter, ia langsung menghidupkan sepeda motornya dan mengikuti
sarah laju sepeda Yudho. Hingga pada saatnya sepeda motor Yudho berbelok ke
sebuah rumah, ia pun mangut-mangut.
“Mungkin dengan
anaknya Pak Rohmadi...” Ia tersenyum sinis, lalu tetap melanjutkan sepeda
motornya dengan tarikan lebih kencang. (Temui Aku di Surga: 88)
Konflik
lain muncul dalam kehidupan Malik sebagai tokoh tambahan yakni ketika datang
sebuah surat berisi jika lebih baik Malik dan Hesti tidak memiliki ikatan dalam
bentuk apapun. Selain itu, ada isi hati Hesti yang membutuhkan konsentrasi
penuh untuk menghafal Al-Qur’an dan hal tersebut tidak akan bisa jika hubungan
yang tidak halal meski hanya sebatas kirim-mengirim surat itu tetap terjadi.
Situasi
konflik batin Malik ini tergambar pada kutipan berikut:
Malik tak tahu
harus bagaimana bersikap saat ini. Ada rasa menyakitkan yang serasa menusuk ulu
hatinya, menyesakkan dada. Ada rasa tak percaya, tak mengerti. Napasnya turun
naik menahan gejolak hati yang ia rasakan. Ada sesuatu yang ia rasa akan
hilang, atau ... memang telah hilang! (Temui Aku di Surga: 108)
Pemuncul
konflik Malik yang ingin menjadi petinggi
pun muncul seperti digambarkan pada kutipan berikut:
“Aku ingin
mencalonkan diri jadi kepala desa...”
“Jadi petinggi?” Yudho mengernyitkan
dahinya... (Temui Aku di Surga: 76)
“Terus, sejauh
mana kesiapan Malik, Pak? Dia masa bisa serius tho!”
“Ssst! Diam-diam
aku sama teman-temanku sudah ngomongin hal ini lho!”
...
Sementara itu
sepasang teling ikut mendengarkan pembicaraan suami istri yang sudah setengah
tua itu. Sepasang telinga milik seseorang yang sosoknya tersembunyi dari
pandangan mata manusia lain. Kemudian bibir pemilik sepasang telinga itu
tersenyum sinis seraya meninggalkan persembunyiannya, cepat-cepat! (Temui Aku
di Surga: 128)
Pada
dua kutipan tersebut dijelaskan keinginan Malik yang ingin menjadi petinggi. Di mana kutipan pertama adalah
dialog Malik dan Yudho dan kutipan kedua dialog antara orang tua Malik.
Berdasar dialog kedualah muncul konflik bahwasanya ada seseorang yang mencuri
dengar pembicaraan tersebut dan berdampak pada peningkatan konflik.
3.
Tahap
Peningkatan Konflik
Pada tahap ini
konflik yang telah dimunculkan pada tahap sebelumnya semakin berkembang dan
dikembangkan kadar instensitasnya. Peristiwa-peristiwa dramatik yang menjadi
inti cerita semakin mencengkam dan menegangkan. Konflik-konflik yang terjadi,
internal, eksternal, ataupun keduanya, pertentangan-pertentangan,
benturan-benturan antar kepentingan, masalah, dan tokoh yang mengarah ke
klimaks semakin tidak dapat dihindari.
Konflik yang
sudah terjadi semakin meningkat. Pada konflik Malik yang ingin menjadi petinggi terjawab dengan ia yang
ditabrak seseorang. Seperti digambarkan pada kutipan berikut:
Bus
pun berhenti. Setelah membayar ongkos, Malik turun dengan tergesa karena tak
sabar ingin sampai di rumah. Sesaat kemudian ia sibuk dengan ponselnya,
menelpon Bapak minta dijemput. Jalan di seberang tempatnya berdiri sekarang
adalah jalan raya menuju Desa Randuasri. Tak ada angkudes, dan untuk naik becak
pun dirasa terlalu lama. Ia memutuskan menyeberang langsung di pertigaan itu.
Tiba-tiba
...
DESS!
Sebuah
benturan keras santara sepeda motor yang dilarikan begtu kencang oleh
pengemudinya, dengan tubuh seseorang yang sedang menyeberang di pertigaan itu.
Tubuh Malik! (Temui Aku di Surga: 130)
“Innalillahi wainnaalillahi raajiuun,
Innalillahi wainnaalillahi raajiuun, Innalillahi wainnaalillahi raajiuun, telah
meninggal dunia Malik Julian Santosa...”
Ia
tak perlu mendengarkan kelanjutan pengumuman dengan pengeras suara itu lagi.
Telah jelas kini apa yang sedang terjadi. Lemas rasanya seluruh raga, jiwa, dan
hatinya.
“Malik...,”
gumamnya tertahan. “Innalillahi
wainnaalillahi raajiuun ..”(Temui Aku di Surga: 132)
Pada dua kutipan
tersebut menjelaskan kematian “Malik” yang membuat konflik dalam novel ini
semakin meningkat. Konflik lain muncul menimpa tokoh “Hesti” yang tidak percaya
dengan kabar kematian “Malik”, ia juga merasa bersalah atas keputusan yang
telah diambilnya. Seperti tergambar dari kutipan berikut:
“Ibu
... Mas Malik ..., Mas Malik ...,” Hesti tak meneruskan kata-katanya. Ia hanya
ingin tenggelam dalam dekapan wanita yang selalu mengasihinya itu dalam tangis
yang sedari tadi ia tahan.
“Sabar
... belum jodohmu...,” ucap Bu Marisah. (Temui Aku di Surga: 143)
“Oh
ya Yud, ada berita tentang pencalonan petinggi,
petinggi...!” kata Pak Rohmadi.
....
“Gimana
kalau kamu yang mencalonkan diri, Yud?”
Sebaris
kata yang baru saja keluar dari mulut Pak Rohmadi membuatnya terhenyak. Remote
control yang digenggamnya sampai terlepas! Seakan ia tak percaya mendengarkan
kalimat itu. (Temui Aku di Surga:
148)
Pada kutipan di atas dijelaskan
keinginan Pak Rohmadi agar Yudho menjadi calon petinggi, sekaligus melanjutkan
cita-cita Malik.
4.
Tahap
Klimaks
Pada tahap ini
konflik dan atau pertentangan-pertentangan yang terjadi, yang dilakui, dan atau
ditimpakkan kepada para tokoh cerita mencapai titik intensitas puncak.
Tahap klimaks
pada novel “Temui Aku di Surga” ini muncul ketika Yudho menerima tawaran Pak
Rohmadi untuk mendaftarkan diri menjadi petinggi.
Berbagai peristiwa aneh pun terjadi dalam pencalonan Yudho, mulai dari ancaman
dari pihak Pak Thamrin sampai kegagalan dalam pemilihan. Seperti diungkap pada
kutipan berikut:
“Begini
Dik ya, ini pembicaraan antara kita berdua saja. Bagaimanapun Dik, kelompok abangan memang ada, dan Dik Yudho tahu
sendiri beberapa kejadian yang menimpa sebagian warga. Katakanlah mereka
bernasib kurang mujur saat itu. Dan ... kemungkinan itu terjadi juga ndak bisa kita pungkiri. Bergantung..!”
Pak Thamrin tak meneruskan kalimatnya. Ia berhenti sambil mengangkat kedua
pundaknya. (Temui Aku di Surga: 188)
Pada kutipan tersebut dijelaskan tentang
ancaman Pak Thamrin kepada Yudho jika memang kelompok abangan yang menakuti calon pemilih memang ada, bahkan ancaman itu juga berlaku pada keluarga
Yudho. Seperti dikutip pada kutipan berikut:
“Darah
Yudho berdesir, hawa merinding menjelajari seluruh permukaan kulitnya
membayangkan satu demi satu anggota keluarganya. Bapak, Emak, kakak-kakak serta
adik-adiknya. Walaupun mungkin tidak semua, atau bahkan hanya salah satu, namun
ia tak rela jika di antara mereka menjadi korban dalam pencalonan ini.” (Temui
Aku di Surga: 189)
Puncak klimaks dalam novel ini tergambar
tatkala Yudho kalah dalam pemilihan kepala desa. Seperti tergambar pada kutipan
berikut:
“Astaghfirulahaladziem ...,” Yudho
berkaca-kaca. Pak Rohmadi langsung bergegas menyongsong tubuh Yudho di antara
riuh suara dan tubuh-tubuh manusia yang berjejal ingin memberi salam pada Pak
Thamrin. (Temui Aku di Surga: 210)
5.
Tahap
Penyelesaian
Pada tahap ini
konflik yang telah mencapai klimaks diberi penyelesaian, ketegangan
dikendorkan.
Kekalahan yang
menimpa Yudho di novel ini diberi penyelesaian, ketegangan dikendorkan. Seperti
tergambar pada kutipan berikut:
“Anu
... Pak. Saya ingin bersaksi... bahwa... bahwa pemilihan petinggi di desa Randuasri sebulan lalu itu... tidak fair, Pak ...”
...
“Iya, sebenarnya itu bukan hasil pemilihan
yang asli. Eh, karena ... Pak Thamrin sudah memalsukan suara.”(Temui Aku di
Surga: 239)
Berdasar kutipan
tersebut diketahui jika pihak Pak Thamrin melakukan tindakan curang dalam
pemilihan kepala desa. Apalagi tokoh “Solikin” mengakui hal tersebut bersama
Yudho di depan polisi. Hal tersebut kemudian diperjelas pada pekerjaan polisi
yang tergambar pada kutipan berikut:
Dari
penyidikan yang dilakukan dengan saksama dan serius akhirnya terkuak bahwa Pak
Thamrin telah menyuruh seseorang, dalam hal ini Solikin, untuk memberikan
sejumlah uang kepada dua orang oknum panitia pemilihan untuk mengupayakan agar
hasil penghitungan suara dimenangkan olehnya. Paijo dan Patkur mengakui hal
tersebut. (Temui Aku di Surga: 251)
Pada kutipan
tersebutlah, akhirnya terjawab teka-teki kekalahan Yudho, dan mengingat
kecurangan yang dilakukan pihak Pak Thamrin. Akhirnya, Yudho diangkat menjadi petinggi. Hal tersebut digambarkan pada
kutipan berikut:
Yudho bersiap-siap berangkat ke balai
desa. Seragam setelah warna cokelat kekuningan ia kenakan bersama peci hitam di
kepala. Tak lupa sepatu hitam klimis ia kenakan bersama kaus kakinya. Ia telah
menghabiskan sarapan tahu pecel yang disediakan khusus oleh Emak.
(Temui Aku di Surga: 265)
Kutipan di atas
menjelaskan aktivitas Yudho sebelum berangkat ke balai desa sebagai petinggi. Kutipan tersebut juga
menjelaskan bahwasanya kelicikan atau kebusukan yang dilakukan Pak Thamrin tidak
akan menang melawan kebaikan.
Selain,
permasalahan kekalahan Yudho dalam pemilihan kepala desa. Pada tahap ini juga
terkuak teka-teki meninggalnya Malik. Seperti digambarkan pada kutipan berikut:
“Ketika
Bus Indonesia itu datang. Aku memutuskan urung menabrak Malik. Aku juga tak mau
nanti dikejar-kejar polisi. Tapi...”
“Tapi
apa?!!” sahut Yudho.
“Sebuah
sepeda motor keluar dari belakang tokoh di seberang tempat aku sembunyi. Sepeda
itu melaju tak begitu kencang ke arah yang berlawanan dengan Bus Indonesia.
Lalu bus itu perdi dan kulihat Malik sudah berada di seberang. Aku makin mantap
tak akan melakukan kejahatan pada Malik. Tapi begitu Malik menyeberang, sepada
motor yang baru keluar tadi berbalik arah, melaju sangat kencang dan ...
menabrak tubuh Malik. Aku ... akan melihat semuanya..”
“Bagaimana
Anda bisa yakin itu sepada motor yang baru keluar dari belakang toko tadi?”
“Ya,
saya yakin sekali. Karena bentuknya agak aneh, dan terutama ada tulisan ini...”
sejenak kalimat Solikin terhenti. Ia memejamkan mata seakan ingin
mengingat-ingat sesuatu.
“Junkpret!”
“Bisa
diulang?” sahut Pak Polisi.
“J
... U ... N ... K ... P ... R ... E ..T,” Solikin menyebutkan susunan huruf
yang membentuk kata yang ia lihat.(Temui Aku di Surga: 243-244)
Pada kutipan
tersebut, tokoh “Solikin” mengaku jika ada niatan untuk menabrak tokoh “Malik”
namun tidak jadi dilakukan karena tokoh “Solikin” takut berurusan dengan polisi.
Kemudian, ada sepeda motor yang memiliki tulisan JUNKPRET menabrak tokoh
“Malik” hingga menyebabkannya meninggal.
Mengetahui hal
tersebut, Yudho segera mencari tahu arti dari kata Junkpret itu. Ia pun
menemukan tulisan tersebut dalam buku agenda Malik.
“Mungkin
ini jawabnya, Pak ... Masa lalu Malik tiba-tiba
hadir di saat ia telah berubah. Ironisnya ... tanpa permisi masa lalu
itu telah menjemputnya dari indahnya kehidupan. Sepeda motor yang nabrak Malik
ada tulisan Junkpret. Begitu kata Mas Solikin, saksi peristiwa naas itu..,” kata Yudho akhirnya.
“Oalah...,
yang katamu... dulunya Malik ikut geng-geng itu toh?”
“Iya
... dulu sebelum ia tobat dan masuk pesanteren.”
“Jadi
... yang nabrak ... anak geng lain? Di situ ... di buku Malik disebut junkpret
adalah nama geng musuh bebuyutan?”
“Sementara
yang bisa saya simpulkan itu, Pak. Benar-benar tidak terduga. Saya tak sempat
berpikir ke arah situ..”
“Kamu
akan beritahukan ke Pak Rohmadi?”
Yudho
tak segera menjawab. Ia menarik napas panjang. Kembali ia bertanya, perlukah
kiranya kasus ini diungkap kembali di saat keluarga Pak Rohmadi sudah tak
mengalami trauma lagi? Bermanfaatkah? (Temui Aku di Surga: 258)
Pada kutipan tersebut
menjelaskan tentang misteri kematian Malik, walaupun begitu Yudho tak mengungkap
permasalahan itu kepada orang lain. Cukup dirinya dan bapaknya saja yang
mengetahui hal tersebut. Mengingat dilihat dari segi kemanfaatan menguak
misteri ini kecil. Apalagi, keluarga Pak Rohmadi sudah menjalani kehidupan
lebih tenang dan damai. Selain itu, mengungkap misteri itu akan menambah
masalah baru. Semisal permasalahan antargeng yang mungkin timbul kembali.
Kritik Sastra Mimesis dalam Novel
“Temui Aku di Surga”
Kaitan antara kenyataan dan rekaan dianggap penting oleh para ahli
sastra. Keduanya tidak dapat dipisahkan dan saling membutuhkan satu dengan yang
lainnya. Hal ini dikarenakan, suatu
karya sastra (rekaan) pastilah berasal dari sebuah kenyataan di lapangan. Pada
novel “Temui Aku di Surga” terdapat beberapa hal yang berdasar terjadi atau
terinspirasi dari kisah nyata. Seperti peristiwa sebagai berikut:
1.
Kehidupan Remaja
Remaja adalah manusia yang sedang mencari
jati dirinya. Hal ini juga menimpa Malik, di mana ia tergabung dalam geng
Topanx yang cukup memiliki nama di wilayah Jepara. Geng Topanx sendiri di dalam
novel ini memuat peristiwa tawuran. Seperti digambarkan pada kutipan berikut:
Malik tak berpikir panjang lagi. Saatnya membuktikan
loyalitas sesama anggota geng! Di sisi lain, sesungguhnya ia juga ingin
melampiaskan kekesalan yang sedang ia rasakan pada keluarga. Mungkin dengan
turun tawuran, mereka akan menyesal telah mengabaikan permintaanku, begitu
pikir Malik.
Malik menuju tempat tawuran. Dari balik tembok sebuah
bangunan di sekitar lapangan, mata Malik menyaksikan mereka yang sedang beradu
otot. Bahkan ada yang membawa senjata tajam! Mendadak Malik menjadi ngeri
sendiri. (Temui Aku di Surga: 2)
“Hoii! Janga larii!” anak geng lain itu meneriakinya.
Malik langsung berlari menjauh! Tapi anak itu mengejar.
Malik mempercepat lariya, dan si pengejar juga makin cepat! Malik sangat gusar
karena anak itu membawa clurit.
Tiba-tiba saja ia sudah sangat dekat di belakang Malik. Dan ...
SHREK!
“Aaaghh!” pekik Malik.
Mata clurit itu
dikibaskan ke arahnya. (Temui Aku di Surga: 3)
Pada kutipan di atas dijelaskan aktivitas
Malik ketika tawuran dengan geng lain, serta nasib yang kurang beruntung
menimpanya yakni terkena clurit geng
lawan. Data di atas juga terjadi dalam kehidupan masyarakat Indonesia khususnya
bagi remaja, yakni apabila terjadi gesekan sedikit saja di antara anggota geng
dengan geng lain. Tawuran menjadi solusinya. Hal ini dapat dibuktikan pada data
berikut:
Aksi brutal kelompok
geng motor yang menyerang lawannya di SPBU Shell Jalan Danau Sunter, Jakarta
Utara Sabtu malam, 7 April lalu, terekam kamera CCTV. Berbekal rekaman itu,
polisi mulai menyelidiki kasus penyerangan yang menewaskan seorang warga Koja,
Jakarta Utara serta melukai tiga orang lainnya. Satu orang diamankan polisi
Rabu kemarin.
Dari rekaman CCTV
tertanggal 7 April 2012 ini, terlihat sejumlah pria berbadan tegap dan masih
menggunakan helm, masuk ke minimarket SPBU Shell di Jalan Danau Sunter, Jakarta
Utara, untuk memburu sejumlah lawan mereka yang bersembunyi di dalamnya.
Diperlihatkan
penganiayaan dan aksi brutal dilakukan geng motor terhadap sejumlah remaja.
Akibat aksi brutal kelompok ini, Soleh, remaja berusia 17 tahun warga Koja,
Jakarta Utara ditemukan tewas dengan luka bekas penganiayaan berat. Aksi
tersebut juga mengakibatkan 3 orang lainnya yakni Zaenal, Reza dan Ardian
mengalami luka-luka. (Indosiar.com, Jakarta: Kamis, 12.04.2012)
Pada data dijelaskan terdapat data beberapa korban yang mengalami
tindakan brutal, bahkan hal tersebut
sampai menewaskan seorang warga Koja. Hal ini menunjukan jika tawuran antar
geng tidak memiliki manfaat. Berdasar hal tersebut, seharusnya dibutuhkan peran
banyak pihak agar kejadian serupa tak terjadi kembali. Seperti peran orang tua,
guru, dan masyarakat itu sendiri.
2.
Tata Cara Pencalonan Pemimpin
Pemilihan umum baik itu kepala daerah, presiden, atau pun
pemilihan kepala desa selalu identik dengan uang atau yang dinamakan money politic. Padahal untuk melakukan
pendaftaran sebenarnya itu digratiskan. Hanya saja, untuk mendapatkan hati
calon pemilih cara money politic
digunakan.
Pada novel Temui Aku di Surga hal ini begitu
tergambar jelas, seperti kutipan berikut:
“Ya... begini ini
kalau sistem sudah terlanjur ndak
baik tapi jalan terus. Mau mencalonkan diri saja harus bingung cari modal. Ndak hanya calon dewan saja yang butuh
uang banyak, calon petinggi di desa juga ndak
kalah berat di ongkos...”
“Iya Pak ya... gimana kalau kita nekat maju tanpa ongkos,
Pak, jadi kalau kalah pun ... ndak
akan sia-sia uangnya...” Tiba-tiba Yudho melontarkan ide itu.
Ia juga heran, kenapa harus bingung masalah modal yang
berpuluh-puluh juta? Sebenarnya untuk apa? Yang resmi kan hanya uang
pendaftaran saja kan? Bahkan kabar terbaru biaya pendaftaran digratiskan.
(Temui Aku di Surga: 164)
Kejadian politik uang dalam dunia nyata juga terjadi di berbagai daerah
di Indonesia salah satunya Jawa Timur. Seperti dikutip dalam merdeka news
berikut:
Rizal Ramli
melihat proses demokrasi telah dicederai. Pemilihan Gubernur (Pilgub) Jawa Timur 2013,
kembali diwarnai politik uang dan kekuasaan seperti tahun 2008 silam.
Menurut
Rizal, dengan kekuasaannya itu, pemerintahan telah menghancurkan proses demokrasi
mulai dari Jawa Timur yang ditandai dengan penjegalan pasanganA Khofifah Indar Parawansa-Herman
S Sumawiredja (BerKah) sebagai calon gubernur dan wakil gubernur Jawa Timur.
“Masyarakat
Jawa Timur, adalah masyarakat yang sangat egaliter, tak akan terpengaruh dengan
kekuasaan dan uang, tapi pemerintah dengan segala cara justru menghancurkannya
dengan politik uang. Pada Pilgub Jatim 2008 lalu, permainan suara melalui IT
dan penyelenggara Pemilu, sukses memenangkan pasanganA Soekarwo-Saifullah Yusuf,
tandas Rizal saat dihubungi Selasa (23/7) malam .
Rizal
mengingat, Pilgub Jawa Timur 2008 itu terjadi hingga tiga putaran, dan menurut
dia selama itu pula politik uang dan kecurangan tetap berlangsung.
“Ini
kotor dan sangat memprihatinkan. Di tahun 2013 ini, Khofifah kembali dijegal
melalui persyaratan partai-partai pendukung, yang juga dengan politik uang yang
nilainya mencapai miliaran rupiah untuk satu partai,” tegas dia. (Peistiwa.com,
Jakarta: Rabu 24 Juli 2013
Pada kutipan di atas menjelaskan jika pemilihan
gubernur di Jawa Timur terdapat kecurangan yang dilakukan lawan pasangan dari
Khofifah Indar Parawansa-Herman S Sumawierdja (BerKah). Pemilihan kepala daerah
di Indonesia memang identik dengan money
politic, hal ini dikarenakan keadaan masyarakat Indonesia yang berada di
bawah angka garis kemiskinan atau berpendidikan rendah. Padahal, money politic bisa juga diartikan
sebagai penggadaian diri kepada pihak (calon pemimpin) yang menang dan hal
tersebut sangat merugikan. Apalagi jika menang, pihak pemimpin yang melakukan money politic akan menggunakan berbagai
cara agar uangnya kembali salah satunya korupsi.
Oleh karena itu, masyarakat dituntut kritis dalam
memilih sosok pemimpin. Apalagi jika pemimpin tersebut terindikasi menggunakan
cara kotor atau politik uang dalam pencalonannya. Pasalnya, satu suara yang
dibeli seharga dua puluh ribu rupiah hingga lima puluh ribu rupiah tidak akan
ada harganya jika dibagi lima tahun (masa pemerintahan).
3.
Sistem Kepercayaan Kekuatan Dukun
Ilmu perdukunan di Indonesia jelas-jelas ada, begitu banyak orang yang
percaya akan kekuatan dukun dibanding kekuatan dari Tuhan. Padahal, jika
terlalu mempercayai dukun membuat seseorang itu musyrik. Namun, bagaimana pun kepercayaan akan kekuatan dukun tak
bisa dihilangkan begitu saja. Sekalipun zaman telah banyak berubah.
Pada novel Temui Aku di Surga,
kepercayaan akan kekuatan dukun begitu tergambar jelas. Seperti pada tokoh “Pak
Thamrin” yang menggunakan jas ontokusumo
dan keris untuk memudahkan ia menduduki kursi sebagai petinggi. Hal ini digambarkan pada kutipan berikut:
“Mereka
ke dukun.” Kata seorang sabetan
bernama Salim yang kebetulan berpapasan saat ia berkeliling desa. (Temui Aku di
Surga: 176)
“Para
pendukung Pak Petinggi itu ... dari
dulu memang begitu tho, Pak, iya
kan? Makanya dari saudaranya dulu, yang
pemilihan sebelum Pak Petinggi juga
pakai cara gitu kok .. Kita harus punya strategi jitu ...,” Pak Salim menyahut
berapi-api. (Temui Aku di Surga: 178)
Thamrin merasa mendapat lawan yang sedikit
bandel! Tapi ia yakin dengan jas Ontokusomo
dan keris saktinya. (Temui Aku di Surga: 194)
Selain terjadi di dunia novel, kepercayaan terhadap dukun di dunia nyata
apalagi bagi calon kepala daerah yang sedang ingin memikat hati calon
pemilihnya. Kekuatan dukun dijadikan barang biasa. Hal ini bisa dikutip pada
kutipan berikut:
Ketika dimulai proses
pencalonan kepala daerah, anggota tim sukses seorang calon mendatangi orang
pintar untuk minta petunjuk. Orang pintar itu segera membakar dupa, melakukan
ritual penerawangan dengan bersemedi.
"Calon kalian
dapat menang kalau dipasangi mahkota trisakti," kata mbah Dukun.
Lalu terjadi
negosiasi. Setelah ada kesepakatan, mahkota trisakti imajiner dipasangkan di
kepala sang calon dengan imbalan Rp 20 juta.
Sang calon terpilih,
menang dengan perbedaan suara menyakinkan terhadap lawan politiknya. Kenyataan
itu membuat orang pintar tersebut naik pamor. Lebih penting lagi, calon
terpilih yang kini duduk di singgasana kekuasaan, percaya bahwa dirinya telah
ditolong oleh suatu kekuatan supranatural melalui (perantara) orang pintar itu.
Oleh sebab itu, ketika ia berkuasa, dengan mudah para dukun lain juga
mendekatinya. (Tribunnews.com, Pontianak: Sabtu, 10.01.2015)
Kepercayaan atas kekuatan dukun ini
menjadi barang penting dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Selain itu juga
terdapat sebuah kepercayaan, di mana seorang penguasa sering terancam oleh
berbagai kekuatan jahat black magic.
Lawan-lawan politik dan kelompok yang tidak suka kepadanya dapat menyerangnya
dengan santet atau pulung. Jika secara fisik dan psikis dia lemah, maka
penyakit aneh hinggap mendera. Penyakit yang tidak dapat didiagnosa secara
medis oleh dokter berdasarkan ilmu kesehatan modern.
Hal ini juga terjadi dalam novel
Temui Aku di Surga, namun, sebagai lawan politik Pak Thamrin, Yudho tak
mengalami hal-hal aneh baik fisik maupun psikis. Dikarenakan tokoh ini
digambarkan dekat akan Tuhan-nya.
Oleh karena itu, dapat diketahui jika kedekatan manusia dengan Tuhan-nya
bisa menjadi penangkal kejahatan yang dilakukan oleh dukun atau orang yang
tidak suka terhadap manusia tersebut. Bukti-bukti kedekatan manusia dan Tuhan
bisa dilihat dalam realitas sehari-hari, seperti tercermin dalam tingkah laku,
ritual peribadatan, dan lain-lain.
4.
Masa Lalu adalah Cerminan Masa Depan
Novel Temui Aku di Surga ini awalnya mengisahkan tokoh “Malik” yang
ingin menjadi petinggi. Namun,
kemudian tokoh “Malik” mendapat kecelakaan yang menyebabkan ia meninggal.
Ternyata, pihak pelaku penabrak adalah orang yang berada di masa lalu Malik.
Yakni, anggota geng Junkpret. Seperti digambarkan pada kutipan berikut:
“Demi
Allah ... semula memang aku niat jahat, tapi ... demi Allah aku tak jadi
melakukannya! Sepeda motor itu yang menabrak.”
“Junkpret?”
“Iya,
tulisannya Junkpret.” (Temui Aku di Surga: 243)
“Mungkin
ini jawabnya, Pak ... Masa lalu Malik tiba-tiba
hadir di saat ia telah berubah. ironisnya ... tanpa permisi masa lalu
itu telah menjemputnya dari indahnya kehidupan. Sepada motor yang nabrak Malik
ada tulisan Junkpret. Begitu kata Mas Solikin, saksi peristiwa naas itu..,” kata Yudho akhirnya. (Temui
Aku di Surga: 258)
Berdasar kutipan di atas, dijelaskan tokoh
“Malik” yang meskipun sudah bertobat ke arah yang benar. Namun, ternyata
musuhnya di masa membuatnya meninggal dan tidak bisa mencalonkan diri menjadi petinggi. Pada kehidupan dunia nyata,
terdapat beberapa calon pemimpin yang memiliki masa lalu kelam, dan menjadi
pro-kontra bagi masyarakat pemilihnya. Seperti kisah Ayu Azhari dan Maria Eva.
Munculnya nama artis
Khadijah Azhari atau lebih dikenal Ayu Azhari dalam bursa bakal calon wakil
bupati pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat,
pada 2010 memicu pro dan kontra di masyarakat.
Keiikutsertaan Ayu
Azhari dalam pilkada melalui Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) pada
Kamis (24/12) itu membuat sebagian warga yang ditemui pada Jumat, tidak
menyetujui bila istri vokalis White Lion, Mike Tramp itu menjadi Wakil Bupati
Sukabumi periode 2010-2015. Namun sebagian warga menyetujuinya. (Selebtempo.com, Jakarta: Kamis, 25 Februari 2010)
Pedangdut Maria Eva menyesalkan
statement Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Gamawan Fauzi soal pezina tak boleh
maju dalam pemilihan kepala daerah (pilkada).
"Kalau (statement) itu ditujukan
kepada saya, kenapa tidak disampaikan pada saat bertemu (Gamawan Fauzi),"
kata Maria Eva kepada Rakyat Merdeka Online sesaat lalu. (Vivanews.com,
Jakarta: Senin, 12.04.2010)
Pada dua kasus Ayu dan Maria Eva memang tak
seratus persen sama dengan kisah Malik. Namun, dari dua kasus pesohor dan tokoh
novel tersebut memiliki benang merah yang sama, yakni masa lalu dapat membuat
seseorang terganggu dalam meraih mimpi atau cita-citanya.
Hal ini menyiratkan bahwa dalam hidup dan
kehidupan seseorang dituntut untuk banyak melakukan kebaikan. Sebab sembilan
puluh sembilan kebaikan yang dilakukan tidak akan berguna jika kemudian ada satu
keburukan. Apalagi, seseorang yang mau menjadi calon pemimpin. Terlepas dari
manusia tidak ada yang sempurna.
5. Kecurangan
dalam Pemilu
Dunia
politik Tanah Air membuat banyak orang (calon pemimpinnya) menggunakan segala
cara apapun agar bisa menang. Termasuk memalsukan suara. Seperti terdapat pada
novel “Temui Aku di Surga” di mana digambarkan tokoh “Pak Thamrin” melakukan
kecurangan, seperti tergambar pada data berikut:
Perkara
kejahatan yang telah direncakan dan dilakukan oleh Pak Thamrin diusut oleh
pihak kepolisian. Hari itu juga, Paijo dan Patkur diciduk, dan diinterogasi di
kepolisian. Tentu saja mereka tak kuasa mengelak tuduhan! Karena ada Solikin
yang telah lebih dulu memberi kesaksian.
Dari
penyedikan yang dilakukan dengan saksama dan serius akhirnya terkuak bahwa Pak
Thamrin telah menyuruh seseorang, dalam hal ini Solikin, untuk memberikan
sejumlah uang kepada dua orang oknum panitia pemilihan untuk mengupayakan agar
hasil penghitungan suara dimenangkan olehnya. Paijo dan Patkur mengakui hal
tersebut. (Temui Aku di Surga: 251)
Selain dalam dunia novel, kecurangan dalam pemilu juga terdapat dalam
kehidupan dunia nyata. Seperti digambarkan pada pemilihan gubernur di Jawa
Timur berikut:
Tim kuasa hukum
pasangan calon gubernur-wakil gubernur Jawa Timur, Khofifah Indar
Parawansa-Mudjiono, mengadukan Komisi Pemilihan Umum Jawa Timur ke Mahkamah
Konstitusi (MK). Mereka menilai KPU Jawa Timur tidak mematuhi keputusan
Mahkamah tentang penghitungan ulang pada Pilkada Jatim.
"Kita anggap KPU
Jawa Timur tetap curang dan menghambat transparansi," kata Andi M. Asrun,
salah satu kuasa hukum Khofifah, di gedung mahkamah Konstitusi, Jalan Medan
Merdeka Barat, Jakarta, Selasa 6 Januari 2009.
Menurutnya, telah
terjadi kecurangan dalam proses penghitungan ulang di kabupaten Pamekasan.
Dalam penghitungan tersebut, KPU tidak memberikan formulir C1 dan tidak
memasang Daftar Pemilih Tetap (DPT) saat penghitungan.
Menurutnya hal ini sangat penting untuk mengetahui
berapa surat surat suara yang sah, yang tidak sah, yang rusak, maupun yang
tidak terpakai. "Kami sudah melakukan protes atas kecurangan-kecurangan
itu, tapi tidak ditanggapi KPU," kata Asrun. (Vivanews.com, Jakarta: Selasa, 6
Januari 2009)
Tindakan kecurangan dalam pemilu itu ada
berbagai macam, seperti pada novel Temui Aku di Surga yakni penggelembungan
suara di mana, Paijo dan Patkur mengakui
jika telah mempersiapkan kartu pilihan palsu yang telah dilubangi pada gambar
Pak Thamrin. Sementara itu, pada kasus yang dikutip di atas terdapat kecurangan
dalam proses penghitungan ulang di Kabupaten Pameksaan. Di mana, dalam proses
penghitungan tersebut, KPU tidak memberikan formulir C1 dan tidak memasang
Daftar Pemilih Tetap (DPT) saat penghitungan.
Berdasar lima data di atas dapat
diketahui bahwa novel “Temui Aku di Surga” dianggap sebagai refleksi atau
cermin realitas. Hal ini dikarenakan, terdapat beberapa kejadian atau adegan
dalam novel yang menggambarkan skema hubungan antara karya sastra dengan
realitas. Seperti realitas sosial, budaya, dan politik. Pendekatan mimesis
sendiri cenderung membandingkan realitas karya sastra kepada realitas faktual (rill), sehingga hakikat karya sastra
yang fiktif imajiner sering
dilupakan. Melalui pendekatan mimesis
inilah novel “Temui Aku di Surga” ini dijadikan fondasi sebelum melakukan
tindakan kritik.
Penutup
Dunia kesastraan
ternyata memiliki bentuk karya sastra yang mendasarkan diri pada fakta. Hal ini
tergambar pada novel “Temui Aku di Surga” karya Ella Sofa yang memiliki
peniruan atas kejadian-kejadian yang terjadi di dunia nyata. Seperti: kehidupan
remaja yang suka nge-geng, sistem
politik Indonesia yang lebih didominasi money
politic, kecurangan di bidang politik yang dilakukan oleh beberapa oknum,
hingga kepercayaan masyarakat akan dukun.
Namun, sekalipun novel
ini memiliki peniruan atas kejadian-kejadian yang terjadi di dunia nyata, tidak
mutlak sama dengan kejadian-kejadian di dunia nyata. Hal ini dikarenakan dunia
empiris tidak dapat mewakili kenyataan yang sungguh-sungguh. Kenyataan yang ada
hanya bisa didekati oleh peniruan-peniruan (mimesis).
Selain itu, hal tersebut sesuai dengan
pandangan Aristoteles, seniman tidak meniru kenyataan dan mementaskan manusia
sebagaimana adanya. Seniman justru menciptakan dunianya sendiri dari segala
kemungkinan yang diberikan oleh dunia nyata sehingga dapat mencerahkan
segi-segi dunia nyata tertentu. Berdasarkan pendapatnya tersebut, Aristoteles
menempatkan seniman pada posisi yang lebih tinggi daripada tukang (pengrajin)
sebab dalam karya seorang seniman pandangan, vision, dan penafsirannya
terhadap kenyataanlah yang lebih dominan.
Pada novel ini
peniruan-peniruan yang terjadi erat kaitannya dengan unsur instrinsik yang
membangun suatu karya sastra terlebih unsur latar dan pelataran, tokoh dan
penokohan, serta plot dan pemplotan.
Daftar
Rujukan
Hardjana,
Andre. 1981. Kritik Sastra Sebuah
Pengantar. Jakarta: Penerbit PT. Gramedia.
Indosiar.com. Rekaman CCTV Kebrutalan Geng Motor. [Serial Online]
http://www.indosiar.com/patroli/rekaman-cctv-kebrutalan-geng_motor_94437.html [Kamis,
12.04.2012].
Nurgiantoro,
Burhan. 2000. Teori Pengkajian Fiksi.
Yogyakarta: Universitas Gadjah Madjah Press.
Peristiwa.com.
2013. Rizal Ramli: Pilgub Jatim Kembali Dicederai Politik Uang.
[Serial Online] http://www.peristiwa.co/rizal-ramli-pilgub-jatim-kembali-dicederai-politik-uang.html [July
24, 2013 ]
RMOL.com. Pezina
Dilarang Ramaikan Pilkada. [Serial Online] http://rmol.news.co.id/news/read/19872/pezina_dilaranga_ramaikan_pilkada. [19 April 2010].
Selebtempo.com.
Ayu Azhari Gagal Jadi Calon Wakil Bupati
Sukabumi. [Serial Online] http://seleb.tempo.co/read/news/2010/02/26/125228560/ayu-azhari-gagal-jadi-calon-wakil-bupati-sukabumi.[26 FEBRUARI
2010].
Sofa,
Ella. 2013. Temui Aku di Surga. Jakarta:
PT. Elex Media Komputindo
Teeuw.
1988. Sastra dan Ilmu Sastra.
Jakarta: PT. Girimukti Pasaka.
Tribunnews.com.
Politik Magis. http://pontianak.tribunnews.com/2015/10/01/politik-magis
Politik Magis. [1 Oktober 2015].
Vivanews.com.
Kita anggap KPU Jawa Timur Tetap Curang
dan Menghambat Transparansi. [Serial Online] http://nasional.news.viva.co.id/news/read/19872/khofifah_adukan_kpu_jawa_timur_curang [6 Januari 2009].
KRITIK SASTRA MIMESIS DALAM NOVEL “TEMUI AKU DI SURGA” KARYA ELLA SOFA
Reviewed by Dunia Trisno
on
8:41:00 AM
Rating:
No comments:
Post a Comment